[Cerpen] Bunga Celandine
![]() |
Sumber : Google Image |
Berkali-kali aku menelpon
Vira, tak ada satupun respon. Aku menebak, bukan perkara ia berpura-pura tidak
mengangkat, tapi memang ia tak menyentuh handphone-nya
sama sekali. Ia enggan berdekatan dengan benda yang mungkin ada kaitannya
denganku. Aku hafal dengan tingkahnya ketika ia marah kepadaku.
Tadi malam, persis di pesta pernikahan sahabatnya. Vira
melihatku berbicara dengan seseorang yang mengusik batinnya.Vira tahu, aku
sedang berbicara dengan kepingan masa laluku, dan itu hanyalah sebuah kebetulan
kami dipertemukan. Tidak karena janji atau kesengajaan. Maka dari itu, ia
cemburu.
Pesta yang seharusnya membuatnya tersenyum bahagia atas
awal perjalanan Astri, sahabat baiknya dalam menempuh hidup baru menjadi
berubah dengan kehadiran sosok itu. Sungguh dia tidak lagi memiliki tempat
didalam hatiku, aku sudah mengungkapkan itu berkali-kali kepada Vira ketika ia merasa
cemburu dan berprasangka buruk kepadaku.
Tanpa berpikir panjang, Vira langsung pergi menjauh dari
pesta itu, tanpa sempat aku mengejarnya dan memberikan penjelasan.
“Vin, aku minta maaf atas yang terjadi semalam.” Tutur
maaf Risa, masa laluku yang telah kusudahi secara baik-baik. Tak ada niat kembali,
apalagi mengulang kisah yang pernah terjalin.
“Aku tidak bermaksud mengacau, apalagi membuat kamu
bertengkar dengan Vira.”
“Kamu nggak usah khawatir, aku yang akan bicara dengan
dia. Mungkin satu atau dua hari lagi keadaan akan kembali seperti sedia kala.”
Aku mencoba menenangkan keadaan, tak ingin membuat Risa merasa bersalah. Pada
dasarnya memang itu salah paham, ia tak salah sama sekali.
Aku tahu, Vira memang orang yang suka cemburu ketika aku
dekat dengan seseorang. Dia mungkin terlalu takut kehilanganku. Jika ditanya
mengapa aku jatuh cinta dengan Vira? Alasannya adalah karena Risa.
***
Risa adalah teman baik Vira dan Astri. Bertahun-tahun,
mereka bersahabat baik. Dan aku mengenal mereka bertiga sejak masa SMA, kami
dahulu dipertemukan dalam satu kelas.
Sebelum aku
jatuh cinta terhadap Risa, aku lebih dulu menaruh hati terhadap Vira, mungkin
karena parasnya lebih menawan. Namun keadaan tak sesuai yang diharapkan. Vira
telah ada yang memiliki, dan aku tahu bahwa aku tak memiliki celah untuk masuk
ke kehidupannya. Disamping aku tak mau menjadi pengganggu hubungan mereka.
Dengan Risa, aku seringkali bertanya dan berkeluh tentang
perasaanku terhadap Vira. Risa sunguh sosok yang baik, dengan sukarela ia
mendengarkan curahan hatiku. Sampai suatu ketika, aku tahu bahwa ia memendam
rasa terhadapku sejak berbulan-bulan yang lalu. Mungkin karena keadaan yang sungguh
tepat, perasaanku mulai tumbuh terhadap Risa. Singkat kata, aku pun menjalin
hubungan dengan Risa.
Kala itu, Vira juga turut bahagia mendengar bahwa
sahabatnya tidak sendiri lagi.
Hubungan kami tak ada satupun yang kurang, pertengkaran
kecil bisa kami lalui bersama. Masa-masa sulit tak menggentarkan langkah kami.
Dengan Risa, aku mengenal cinta dan kebahagiaan. Dia sosok yang selalu kurindukan.
Dia yang tak pernah lekang oleh waktu, yang selalu mengisi relung hatiku.
Waktu itu, aku merasa hubungan kami telah sampai ke
jenjang yang lebih serius. Aku bekerja keras demi sebuah momen yang tak akan
kulupakan seumur hidupku. Aku telah yakin dengan hatiku untuk meminang Risa.
Sebuah cincin emas telah kupersiapkan khusus untuknya.
“Ris, aku ingin membicarakan sesuatu?” Aku berkata
lembut, di sebuah restoran yang interiornya menambah nuansa. Alunan musik
klasik mendayu lembut khas penuh romansa.
Aku menatap wajah Risa, mata kami berdua saling beradu
pandang. Ia tak berbicara satu patah katapun. Mungkin ia bisa menebak tingkahku
yang tak seperti biasanya. Wajahnya memerah, kecantikannya bertambah ketika ia
tersipu.
Sebuah cincin emas telah kugenggam erat, tinggal menunggu
waktu untuk menunjukkannya kepada Risa.
“Will you marry me?”
Momen yang berlangsung singkat itu membuat keadaan
seketika hening. Risa menangkupkan kedua tangannya didekat bibirnya, matanya
berkaca-kaca. Seolah airmatanya ingin menetes. Mungkin memang tak seromantis di
film-film, tapi aku yakin itu punya makna tersendiri di hati Risa.
Aku menghela nafas, deg-degan menunggu jawaban Risa. Ia
tetap tak kuasa mengucapkan kata ‘ya’ dari bibir lembutnya. Hanya anggukan,
tapi itu cukup untuk membuatku tahu bahwa ia bersedia menjadi pendamping
hidupku, kini dan nanti. Aku memasangkan cincin emas itu di jari manisnya. Ia
masih sedikit tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Tanpa menunggu waktu lama, ia segera menelpon kedua
sahabatnya tentang momen indah itu. Astri turut berbahagia mendengar kabar
tersebut. Namun tidak dengan Vira, berkali-kali Risa menelponnya tak ada
respon.
Sebuah insiden menyakitkan terjadi dalam hidup Vira.
Lelaki yang selama ini ia sayangi, berkhianat dibelakangnya. Semua terjadi
terlalu tiba-tiba, lelaki itu telah menikahi perempuan lain. Pernikahan yang
bukan atas dasar cinta, melainkan atas dasar tanggung jawab karena telah
menghamili perempuan itu. Padahal, selama ini Vira dan dia telah membuat
komitmen bersama. Komitmen yang telah mereka bangun harus runtuh dalam sekejap.
Memang, hati seorang perempuan itu ibarat kaca yang
gampang pecah. Terkena benturan sedikit saja bisa retak, apalagi tamparan keras
yang menimpanya. Vira pun demikian, namun ia berbeda dengan perempuan lain. Ia
punya kebiasaan buruk ketika mentalnya tertekan, seringkali ia melakukan
perbuatan yang mengancam nyawanya. Hatinya riskan untuk tersakiti.
Berjam-jam mengurung diri didalam kamar tanpa adanya
jawaban membuat kedua orangtua Vira khawatir. Ibunya langung menelpon Risa dan
Astri untuk segera menuju ke rumahnya. Mereka pun bergegas ketika mendengar
kondisinya. Mereka takut hal-hal yang tak diinginkan terjadi kepada Vira.
Sesampai di rumahnya, mereka berdua mendapati Vira
terkapar diatas ranjang. Darah berceceran diatas tempat tidurnya. Sebilah cutter tergeletak didekat pergelangan
tangannya. Keduan orangtuanya panik tak karuan, ayahnya mendobrak paksa pintu
kamarnya karena tak ada satupun jawaban dari putri tunggalnya.
Vira segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk
mendapatkan pertolongan pertama. Kemungkinan besar, Vira melakukan aksi nekat
itu beberapa menit yang lalu. Darah yang masih mengalir masih terlihat segar
belum membeku. Namun tetap saja, ia kehilangan banyak darah. Mereka harus
berpacu melawan waktu jika ingin Vira selamat.
***
Beberapa perawat keluar beriringan dari ruang intensif
tempat dimana Vira dirawat. Selang beberapa waktu, dokter yang menangani
keadaan kritis Vira keluar dari ruangan.
“Bagaimana keadaan anak saya Dok?” Kedua orangtua Vira
bertanya antusias, sedari tadi beliau cemas memikirkan kemungkinan terburuk.
Risa dan Astri tak ubahnya demikian, mereka juga khawatir setengah mati.
“Anak Bapak baik-baik saja, jika terlambat sedikit saja
mungkin nyawanya tidak akan tertolong. Ia kehilangan banyak darah, bersyukur
persediaan darah di rumah sakit ini masih tersedia. Oleh sebab itu, prosesnya
jadi lebih mudah. Tinggal menunggu waktu saja sampai ia sadar.” Ujar dokter
dengan jas putih tersebut, lantas dokter itu pergi meninggalkan mereka karena
masih ada pekerjaan yang mesti diselesaikan.
Sekitar setengah hari, Vira tersadar dari koma. Ia
perlahan membuka kedua matanya perlahan, bibirnya mulai membuka suara. Meski
terdengar lirih karena kondisinya masih lemah sedikit tak berdaya.
Dokter tadi menyarankan untuk tidak membahas hal-hal yang
macam-macam. Terutama tentang sesuatu yang menyangkut pernikahan. Memang jika
kondisi fisik Vira dapat pulih dalam beberapa waktu, tapi psikis-nya masih
belum sembuh total. Ia masih mengalami trauma berat, bukan hal yang tak mungkin
jika ia melakukan hal nekat lagi.
Kedua orangtuanya beserta sahabat-sahabatnya tetap setia
menemani Vira. Hiburan-hiburan kecil mereka coba, itu semua untuk membuat
keadaan Vira lekas membaik.
Tak genap lima
hari, Vira sudah diperkenankan pulang oleh dokter. Ia masih harus menjaga
fisiknya dengan mengonsumsi makanan yang bergizi dan sekaligus untuk
mempercepat pemulihan. Dokter juga memberikan resep obat dan beberapa nasihat,
salah satunya adalah untuk tetap memantau Vira serta menjauhkan benda tajam
atau hal yang berbahaya jika sewaktu-waktu ia depresi kembali.
***
“Ris, maksud kamu apa?” Aku setengah berteriak, tidak
habis pikir dengan keputusan Risa. Cincin emas pemberianku di malam indah itu dikembalikan
lagi kepadaku. Hanya tinggal beberapa tahap lagi untuk melangsungkan proses
pernikahan. Tanpa mendung, hujan tiba-tiba mengguyur deras. Ibarat apa yang
kurasakan sekarang.
“Aku minta maaf, Vin. Kita nggak bisa bersama sekarang,
bukan perkara aku tidak mencintaimu. Ada sesuatu yang lebih penting dari
pernikahan ini.” Suara Risa sedikit pelan, ia menggigit bibirnya, tak kuasa
menuturkan kalimatnya secara utuh.
“Memangnya apa yang lebih penting? Vira.” Suaraku meninggi,
memang aku sedikit marah tapi falsetku itu bukan menunjukkan kemarahan,
melainkan penekanan atas rasa keingintahuanku.
Risa mengangguk. Ia sungguh terlalu baik, rela menunda
kebahagiaannya demi sahabatnya yang sedang menderita. Aku diam sejenak. Aku
tahu, Risa bukanlah orang yang bodoh, yang memutuskan sesuatu berdasarkan emosi
tanpa mempertimbangkan akal sehat. Jika ia memang menginginkan pernikahan ini
dibatalkan, aku bisa memakluminya.
“Vin, kamu jangan marah ya! Aku punya satu keinginan
lagi.” Kali ini raut wajah Risa lebih serius. Ia menghela nafas, meski sediki
berat ia menguatkan hati dan segenap jiwanya untuk mengungapkannya kepadaku.
“Tolong jaga Vira, Vin! Aku nggak yakin dia bisa melewati
ini sendirian, aku dan Astri nggak akan mampu menyembuhkan luka hati yang
dirasakan Vira. Dia butuh seseorang pengganti masa lalunya, dan itu bukan
sembarang orang. Aku yakin kamu orang yang tepat, aku tahu kamu nggak akan
menyakiti Vira. Dengan kamu, dia akan bisa bangkit melewati rasa sakitnya. Asal
kamu tahu, sejujurnya dia juga menaruh hati padamu. Sayang, kamu kalah telak
oleh orang lain yang lebih dulu mencuri hati Vira. Aku minta maaf waktu itu
tidak jujur lebih awal, mungkin aku terlalu egois karena aku juga menaruh
harapan kepadamu. Aku percaya, hari dimana kamu dan dia akan bersama akan tiba,
dan itu adalah hari ini. Itu kan, yang kamu harapkan di awal perkenalan kita.”
Airmata perempuan itu menetes, pipinya basah. Ia menyeka
airmata itu dengan cepat.
“Kamu janji.” Tanpa sempat aku menyela apalagi memrotes,
jari kelingkingnya ia acungkan ke arahku.
Aku masih belum bisa membuat keputusan, memang ada
benarnya apa yang diucapkan Risa. Dulu memang aku begitu berharap untuk bersama
Vira. Namun perasaan itu sirna, dengan kehadiran Risa dan sejuta perhatian yang
ia berikan kepadaku. Vira, nama itu telah tergantikan didalam relung hatiku.
Sekali lagi aku menatap mata Risa, entah mengapa aku
ingin menangis. Aku masih terus berpikir, logikaku masih bertempur hebat dengan
nuraniku. Jika hubunganku dengan Risa kupaksakan untuk tetap berlanjut, mungkin
akan memperburuk keadaan. Bisa juga, pernikahan itu dilangsungkan diam-diam
tanpa sepengetahuan Vira. Namun Risa memilih untuk tidak melanjutkan demi
menghargai persahabatan yang telah merekat kebersamaan mereka saat ini.
“Aku janji, Ris.” Kelingkiku memeluk erat kelingkingnya,
aku mencoba tersenyum dihadapannya. Ia balas tersenyum, meskipun kenyataan yang
sesungguhnya begitu pahit diantara kami berdua. Sebelum ia pergi, ia memeluknya
sejenak. Erat. Pelukan hangat, kebahagiaan terakhir untuk aku dan dia.
“Satu hal lagi, Vin. Lupakan aku, dan kenyataan bahwa
kita pernah bersama. Jangan pernah ungkit ini lagi di masa depan. Namun jika
memang kamu nggak mudah melakukan itu, lihatlah aku dari sudut pandang yang lain.
Pelan-pelan saja, tak perlu kamu paksakan.” Kalimat terakhir Risa, sembari
melepaskan pelukannya perlahan.
Detik ini dan seterusnya, hubunganku dan Risa resmi
berakhir. Ia berusaha menjauh dari kehidupanku. Tanpa kabar dan tanpa pesan.
Aku hanya percaya, ia kini sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Mencoba
mendamaikan batinnya, dan mengikhlaskanku menjalani hari bersama Vira.
***
Bukan perkara yang mudah bagiku, mencintai orang yang tak
semestinya untuk kucintai. Aku masih belum terbiasa melakukannya.
“Nak Kevin, Saya sedih melihat keadaan Vira. Jika ia
terus menerus begitu, fisiknya akan semakin melemah. Saya berharap, semoga
dengan kehadiranmu keadaan Vira bisa membaik.”
Aku memantapkan hatiku menyakinkan Ayah Vira, aku
berjanji akan mendampingi Vira melewati masa-masa sedihnya. Ini bukan hanya
janjiku untuk beliau, tetapi juga demi Risa.
Di dalam kamarnya, Vira termenung sendirian. Sejenak aku
bersandar didepan pintu, menatapnya iba. Ia seperti kehilangan alasan untuk
hidup. Mimpi-mimpinya dulu hilang,
harapan-harapan itu pupus tak berperasaan. Begitu kejam apa yang ia
hadapi. Terlepas benar atau salah keputusan Risa, melihat keadaan Vira seperti
itu aku jadi mengerti. Melangsungkan pernikahan dengan Risa justru akan
memperburuk keadaan Vira, apalagi jika ucapan Risa benar bahwa Vira pernah
menaruh harapan kepadaku.
“Ehm, apa kabar Vir?” Aku mendekat disamping tempat ia
bersandar.
Ia tak memperhatikan keberadaanku, dia tetap saja
melamun. Menatap lurus dengan tatapan kosong. Aku tak pandai berkata-kata,
rayuan apapun mungkin tak terlalu ampuh untuk membuat ia tersenyum.
Sungguh berat melakukan semua ini, aku tak tahu harus
melakukan apa untuk Vira. Aku tak memiliki skenario yang akan membimbingku
sepijak demi sepijak dalam memulai ceritaku dengan Vira. Aku melakukan ini
spontan mengikuti apa yang hatiku sampaikan.
Kali ini aku mencoba menggengam tangannya. Tak terlalu
erat, namun cukup tulus dari perasaanku.
“Vin..” Suara itu terdengar lirih. Aku langsung menoleh
ke arah Vira.
“Kamu kenapa menangis?” Aku menyeka airmata Vira yang
menetes pelan. Perasaanku kembali kacau, mungkinkah perasaan lama itu akan
kembali terulang? Aku tidak mengerti sama sekali.
Ia tidak menjawab, airmatanya terus menetes lebih deras.
Aku merangkulnya, membiarkan pundakku sebagai tempat ia
bersandar. Aku masih menggenggam tangannya, tangisannya mendadak berhenti.
“Makasih Vin, udah ada buat aku.” Suara itu masih
terdengar lirih, namun cukup menentramkan hatiku karena suatu alasan.
Aku pun mengelus rambutnya, membisikkan beberapa kalimat
agar ia tidak menyerah dengan keadaan. Tanpa kusadari, kedua orangtuanya
mengintip dari balik daun pintu. Tersenyum melihat Vira yang terlihat lebih
baik ketika berada didekatku.
***
Hari demi hari tlah kulewati, kondisinya lekas membaik
dibandingkan sejak pertama kali aku menemuinya. Vira mulai bisa tersenyum dan
tertawa kecil. Kekhawatiran kedua orangtuanya mulai tersingkirkan, mereka yakin
bahwa jika aku adalah orang yang paling tepat berada didekatnya.
Tak dapat kupungkiri, meski sulit untuk kuakui. Perasaan
itu kembali tumbuh, aku mulai terbiasa berada didekat Vira. Itu bukan berarti
aku melupakan Risa dari lubuk hatiku. Ia masih memiliki tempat dihatiku,
meskipun aku sedikit sedih jika mengingat dimana dia saat ini Melupakan Risa,
sungguh hal yang mustahil untuk dilakukan dalam waktu yang singkat.
“Selamat pagi, Celandine.”
Ucapku hangat, membuka pertemuan di pagi ini.
“Celandine?”
Vira bertanya penasaran seraya mengernyitkan dahinya.
“Itu adalah salah satu nama bunga. Kamu tau nggak artinya
apa?”
“Ehm, cinta atau kasih sayang?” Vira mencoba menebak,
wajahnya yang begitu lugu membuatku sedikit terpingkal. Aku menggeleng, dia
tampak kecewa karena tebakannya salah.
“Celandine itu
artinya adalah kebahagiaan yang akan datang. Sebutan itu sengaja aku tujukan
kepadamu, kamu tau? Semalam aku pusing memikirkan nama itu buat kamu.” Aku
tersenyum sembari mencubit hidungnya yang mancung.
“Kamu so sweet
banget.” Kejutanku tak hanya berhenti disitu, sebatang cokelat sengaja kubawakan
khusus untuknya.
“Mungkin kamu mengira cokelat ini hanya akan menambah
berat badanmu, tapi menurut gosip yang aku dengar, cokelat itu mampu
menenangkan hati seseorang.” Sembari tertawa aku menggoda Vira. Tawanya kian
keras ketika aku menyebut kata ‘gendut’ didepannya. Ia sedikit mengelak,
membela diri bahwa meskipun ia hobi makan cokelat ia tidak akan pernah gendut.
Perlahan ia membuka bungkusan cokelat itu, kemudian ia
menawarkan cokelat itu kepadaku. Aku pun menolak halus.
“Ayo Vin, biar kita nanti gendut bareng-bareng.” Aku
hanya bisa tertawa mendengar guyonan Vira.
Dengan kerelaan aku pun mengiyakan permintaannya. Vira
membagi batangan cokelat itu menjadi dua bagian. Sembari bercerita banyak hal,
kami menikmati cokelat itu. Kesedihan yang dulu begitu menakutkan untuk ia
lewati perlahan berubah menjadi sebuah kebahagiaan yang sungguh berarti untuk
dia.
“Vin.”
“Iya, kenapa Vir?”
Tanpa diduga kedua bibir Vira mencium lembut bibirku, aku
tak sempat mengelak. Dia menciumku, jantungku berdegup lebih kencang. Sungguh,
lelaki siapapun mungkin akan khilaf jika hal ini terjadi. Apalagi paras Vira
yang begitu memesona.
“Aku sayang kamu, Vin. Stay with me.” Vira memohon kepadaku, harapannya terlalu tinggi
untukku.
Aku tak ingin membuatnya kecewa, aku tersenyum sembari
menganggukkan kepalaku.
“Tentang Risa?” Setengah ragu Vira menyebut nama itu, ia
sungguh tidak tahu apapun tentang kisahku dan Risa.
“Hubunganku dengan Risa sudah berakhir, ia mengakhiri
hubungan ini karena ada orang lain yang lebih berarti untuk dia, dan itu bukan
aku. Aku sudah mencoba sebisaku, tapi aku tak bisa menahan Risa.” Aku sengaja membiaskan
cerita yang sebenarnya, karena terlalu menyakitkan jika diungkapkan secara
langsung.
“Kamu masih mencintainya?” Pertanyaan yang cukup berat
untuk kujawab, sama beratnya dengan kalkulus dalam matematika atau perhitungan
astronomi dalam science.
Aku tidak bisa menunjukkan raut wajah yang menandakan
bahwa aku masih mencintai Risa. Layaknya aktor yang bersandiwara diatas
panggung drama, aku menjawab kata ‘tidak’. Senyuman Vira merekah, detik ini
pula kami berdua menjalin sebuah ikatan. Dan waktu masih tetap berlanjut.
Janjiku dengan Risa masih kupegang teguh. Aku akan tetap
menjaga kebahagiaan Vira, kapanpun. Namun untuk melupakan kenangan itu, mungkin
akan terwujud seiring berjalannya waktu aku menjalani kisahku dengan Vira.
***
Kembali ke masa
sekarang.
Semenjak pertemuanku
dengan Risa, aku belum bisa menghubungi Vira. Kata ibunya ia tidak ingin
sendirian dulu untuk sekarang. Minimal tahu keadaannya sekarang itu cukup
bagiku. Aku takut kejadian di masa lalu kembali terulang.
Kejadian di malam pernikahan itu tidak sesuai dengan apa
yang dibayangkan oleh Vira. Aku dan Risa hanya saling bertutur sapa, tanpa
mengungkit kembali masa lalu yang terjalin diantara kami. Risa telah memiliki
kehidupan baru untuk saat ini, tak lama setelah kepergian Vira dari pesta
pernikahan itu aku dikenalkan oleh seorang lelaki, calon pendamping hidup Risa.
Vira terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Akhirnya, Risa memberanikan diri untuk menemui Vira,
tentu tanpa sepengetahuanku. Di sebuah kafe tempat mereka biasa berkumpul, itu
sengaja mereka pilih. Risa ingin permasalahan ini cepat selesai, tanpa ada
kesalahpahaman lagi.
“Jadi, kamu akan menikah bulan depan?” Vira bertanya
penasaran, gejolak batinnya perlahan menurun.
“Kamu harus datang ya, awas kalau nggak datang!” Ancam
Risa sembari mengumbar tawa tulus dari hatinya. Mereka akhirnya berbaikan
kembali, sesekali bercerita panjang lebar memutar nostalgia. Persahabatan yang
dulu pernah retak kini tersatukan kembali.
Tak butuh waktu lama, Vira meminta maaf kepadaku karena
telah menaruh prasangka kepadaku. Aku tersenyum memaafkannya, aku tak akan
marah hanya karena masalah seperti itu.
Di hari pernikahan Risa, kami berdua meluangkan waktu
untuk menyaksikan awal perjalanannya menempuh hidup baru. Lucu juga, seharusnya
aku yang berdiri disamping Risa, menggenggam seikat bunga mawar, merekahkan
senyum kebahagiaan. Namun jalan cinta itu penuh misteri, takdir memisahkan kami
dan mempertemukan kami dengan orang lain. Tak ada niat macam-macam, hanya
sedikit sedih saja jika mengingatnya.
Seusai menghadiri pernikahan Risa, aku mengajak Vira
pergi ke sebuah tempat. Aku mengajaknya ke sebuah danau yang menawan, aku berharap
ini adalah momen yang tepat dan tak akan terlupakan. Saksi cinta kami berdua.
Kami duduk beralaskan rumput hijau sembari memandang jernihnya air danau.
“Vir.” Aku membuka pembicaraan, dia menatapku.
Tanpa menunggu hitungan menit, aku mengeluarkan sebuah
kotak cincin dari sakuku. Ini adalah cincin yang berbeda, cincin untuk Risa
telah ku kembalikan ke toko perhiasan. Aku mempersembahkan cincin yang berbeda
untuk Vira.
“Maukah kamu menikah denganku? Menggapai mimpi-mimpi kita
bersama, melewati arus kehidupan, hanya kamu dan aku?” Aku seperti terdampar di
masa lalu, tapi kali ini momennya sungguh berbeda.
Vira memelukku erat, ia tersenyum haru. Airmatanya tak
kuasa menetes, aku sungguh merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Cincin itu ku
lingkarkan di jari manisnya, aku mencium keningnya.
Sebulan kemudian kami melangsungkan pernikahan,
perjuangan cinta kami masih terus berlanjut. Dalam duka dalam tawa, aku janji
tidak akan meninggalkan Vira. Seperti bunga Celandine,
kebahagiaan yang akan datang. Dan itu telah terwujud sekarang ini bagi Vira dan
bagiku.
~End~
0 Response to "[Cerpen] Bunga Celandine"
Post a Comment