[Cerpen] Di Penghujung Waktu


Andaikan waktu dapat direset ulang, kembali ke titik awal dimana kehidupan bermula. Andai kata jika Tuhan menciptakan dia menjadi orang lain atau mungkin jika ia tidak pernah terlahirkan di dunia ini. Dia tahu, pengandaian itu hanyalah cuplikan kebahagiaan yang hanya bisa ia terka tanpa mampu direngkuhnya. Kebahagiaan yang semu itu harus sirna ketika mengetahui usianya yang hanya tinggal menghitung mundur waktu.
            
“Aku ingin hidup normal, Fer.” Ia mengeluhkan keadaan, kepalanya tersandar diatas pundak lelaki yang menemaninya berjuang melawan takdirnya.
            
Lelaki itu tahu, bukan satu atau dua kali kekasihnya mengeluhkan demikian. Tak terhitung, memorinya tak cukup baik untuk mengkalkulasikannya.
            
“Kamu jangan ngomong gitu. Kamu harus kuat, ini adalah jalan Tuhan yang harus kamu lewati.” Ujar lelaki itu menenangkan, kekasihnya tak berbicara sepatah katapun. Perempuan itu tahu akan takdir yang sedang dihadapinya. Kenyataan bahwa ia mengidap leukimia stadium akhir membuatnya pesimis menjalani kehidupan.

Tanpa dukungan kedua orangtuanya beserta lelaki yang kini terduduk disampingnya, mungkin ia tak punya cukup alasan untuk berjuang melawan takdir yang menghantuinya.

“Kita pulang yuk. Nanti kamu dicari mama lho.” Ujar lelaki itu lembut, sedikit melepaskan genggaman erat Sasha, kekasihnya.

“Sebentar lagi, aku ingin melihat detik-detik terakhir terbenamnya matahari. Barangkali ini adalah sunset terakhir dalam hidupku.” Sasha mengiba agar lelaki itu berkenan menemaninya beberapa menit lagi, hanya beberepa menit.

Lelaki itu mengangguk, mereka menanti matahari mencium kaki langit dari rooftop yang dipermak menjadi sebuah kafe. Tempat yang tepat untuk menikmati pesona sunset di kota yang dipadati gedung-gedung perkantoran.

“Fer, kalo aku udah nggak ada, kamu masih tetap mengingatku nggak? Seperti halnya detik ini, dan juga kenangan-kenangan kita yang lain.”

Gelap mulai menyapu senja, lembayungnya mulai pudar perlahan. Fery membisu, ia tak kuasa membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk.

“Kamu ngomong apa, Sha? Jangan pesimis, aku yakin kamu pasti sembuh.” Dengan segenap hati, ia menyemangati Sasha. Selang beberapa waktu sesuai matahari terbenam, Fery mengantarnya pulang.

***
      
Mungkin sudah yang keenam kali Sasha menjalani kemoterapi.  Ia lelah menjalani ini semua, tapi apa mau dikata, ini adalah salah satu cara untuk melawan penyakitnya. Meskipun tidak seratus persen menjamin bahwa sel kankernya menghilang, tapi minimal dengan terapi ini sel-sel kankernya dapat terbunuh.
            
Efek kemoterapi berdampak terhadap fisiknya, rambutnya pelan-pelan mulai rontok. Nafsu makannya juga terkadang menurun. Mamanya yang begitu perhatian dengan Sasha membujuknya untuk makan meski hanya sesuap. Jika tidak, keadaannya bukan justru membaik tapi malah sebaliknya.
            
“Maafin aku, Ma. Sudah bikin Mama khawatir kayak gini.” Ujar Sasha, ia akhirnya menerima suapan dari mama tercintanya.
            
Mamanya meneteskan airmata mendengar kalimat Sasha, jika mungkin Tuhan memperkenankan maka beliau rela bertukar posisi dengan anak kesayangannya. Tak ada satupun Ibu yang rela melihat anaknya menderita, tak ada satupun. Sedikit demi sedikit, makanan di piring yang di pegang mamanya tak bersisa lagi.
            
“Kamu harus cepat sembuh, Sha. Mama sayang sama kamu.” Mamanya mencium kening Sasha. Selepas menghabiskan makanannya, ia mengambil sebutir pil dari laci dekat tempat tidurnya. Lantas meminumnya perlahan dengan air putih. Mamanya kembali ke dapur seusai memastikan bahwa Sasha telah meminum obatnya.
            
Dari balik pintu terlihat Fery yang dengan tampannya membawa sebuket bunga anyelir warna merah muda. Ia perlahan mendekat ke arah Sasha yang hendak berbaring di tempat tidurnya. Ia tersenyum, meletakkan bunga anyelir itu di dekat bantal tidurnya.
            
“Gimana kabarmu hari ini, Sha?” Pertanyaan yang selalu sama diutarakan Fery, untuk memulai pembicaraan.
            
“Nggak ada yang berubah, malah yang ada lebih buruk.”
            
“Tapi ada satu hal yang nggak berubah? Ayo tebak?”
            
Sasha berpikir sejenak, ia tertawa lugu karena tak ada satupun jawaban yang terlintas dibenaknya.
            
“Kecantikan kamu dan juga perasaanku kepadamu, Sha.” Ujar Fery yang dalam sekejap merekahkan senyuman dari gadis yang mulai memudar dari kehidupannya.
            
“Itu bukan satu hal, tapi dua hal.” Sasha menyergah, mereka berdua lantas tertawa. Seolah tak terjadi apa-apa. Bagi lelaki itu, tiada hal terindah untuknya selain senyuman gadis tersebut.

***
            
Di sebuah kafe, Fery berkumpul bersama teman-temannya. Mereka bercerita banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga menyangkut urusan pribadi semisal pacar.
            
Salah seorang temannya dengan antusias menceritakan kekasihnya yang seolah-olah sempurna bak bidadari meski itu dalam perspektifnya sendiri. Temannya yang lain tertawa menimpali tak mau kalah.
            
Fery hanya diam saja, memasang wajah ketus seolah tak mau tau. Baginya, pembicaraan ini tak ada maknanya sama sekali.
            
“Bro, kau nih daritadi diam saja, tak suka kau lihat teman kau bahagia, hah ?” Cetus salah seorang temannya. Belum sempat menjawab, temannya yang lain menimpali.
            
“Ah lupa aku kalau pacar kau mah begitu, pantas kau murung. Kenapa nggak cari yang lain bro, gue punya banyak kenalan cewek nih. Lebih semlohai ketimbang gadis kau tuh yang pesakitan ?” Kalimat terakhir temannya merupakan tamparan keras bagi Fery. Ia lantas beranjak dari tempat duduknya, merapikan barangnya lantas pergi meninggalkan obrolan yang tak ada gunanya tersebut.
            
Anto, salah satu teman akrab Fery mencoba menahannya sebentar. Ia meminta maaf atas ucapan kasar teman-temannya yang lain. Sempat ia memarahi tingkah mereka yang kelewat batas. Namun, Fery terburu-buru pergi.
            
“Bro, tunggu bentar.” Sembari berlari-lari, Anto berteriak keras memanggil Fery.
            
Lelaki itu tak menoleh, ia masih membendung kemarahannya. Anto menambah kecepatan berlarinya, ia menepuk pundak Fery sedikit keras tepat saat ia menyentuh gagang pintu mobilnya.
           
“Kita semua minta maaf, Bro. Mereka nggak serius, kita tau apa yang kau..”
            
“Bangsat kalian semua, lo nggak ngerti keadaan Sasha. Terserah kalian mau ngebacot kayak apa, aku nggak akan pernah ninggalin dia. Titik.” Amarah Fery sempurna terluapkan, ia dengan cepat masuk ke mobilnya lantas meninggalkan Anto.


Baca juga: Cerpen - Meneguk Secangkir Kenangan

***

Telepon berdering keras, Fery terbangun dari tidurnya. Pagi masih belum sempurna, ia sedikit malas beranjak dari tempat tidurnya.

Mama Sasha, beliau yang menelpon sepagi ini. Ada apa gerangan?

Kantuknya mendadak hilang, kepalanya dipenuhi beragam tanda tanya.

“Halo, dengan Fery. Keadaannya darurat, Sasha sedang kritis di rumah sakit. Kamu bisa kesini sekarang?” Suara perempuan setengah baya itu terdengar berat. Fery terdiam, ia segera mengganti pakaiannya lalu bergegas menuju rumah sakit yang disebutkan di telepon tadi.

Dari tempat parkir rumah sakit, ia segera berlari menuju resepsionis. Menanyakan kamar tempat Sasha dirawat. Tanpa sempat menghela nafas, ia langsung berjalan cepat menuju kamar yang disebutkan oleh staff di resepsionis tadi.

Kedua orangtua Sasha tampak khawatir, ibunya terduduk lemas bersandar di sebuah bangku. Sedangkan, ayahnya berjalan mondar-mandir sembari menangkupkan kedua tangannya didekat bibirnya. Merapal doa-doa, berharap semoga tidak terjadi apa-apa dengan Sasha.

“Sasha kenapa Om?”

Dengan nada penuh kecemasan, ayah Sasha menjelaskan bahwa tadi ketika bangun tidur, Sasha menjerit begitu keras, ia seperti menahan sakit yang luar biasa. Ketika mereka sampai di kamar Sasha, ia sudah pingsan. Tak butuh waktu lama, orangtuanya segera membawa Sasha ke rumah sakit.

Lelaki itu menatap kekasihnya dari luar. Di dalam ruangan itu Sasha berjuang sendirian, selang infus, alat pendeteksi jantung, lengkap menemaninya. Ia tahu bahwa leukimia yang diderita Sasha sudah mencapai stadium akhir, tapi ia tak pernah menyangka akan secepat ini. Ia masih ingin menjalani waktunya dengan Sasha.

“Tuhan, jangan kau ambil dia secepat ini. Aku ingin menjalani waktu dengannya, sekali lagi saja. Aku mohon. Bila mungkin, aku rela menukar usia yang kumiliki ini untuknya.” Gumamnya dalam hati, pintanya kepada Tuhan.

Suara pintu ruangan tempat Sasha dirawat terdengar berdesit. Dokter dan juga beberapa perawat keluar dari ruangan itu. Sebuah kabar baik, meski sempat melewati masa kritis tapi itu tidak sampai merenggut nyawanya.

“Tapi ada satu hal yang harus saya sampaikan, kalian semua harus siap dengan kemungkinan terburuk. Mungkin, waktu anak Bapak tidak akan lama lagi.” Ujar dokter tersebut mengakhiri kalimatnya tanpa menyebut berapa lama waktu yang Sasha miliki. Vonis dokter tersebut seperti menghunjam perasaan Fery dan juga kedua orangtua Sasha.

Mereka semua tahu hari itu pasti akan datang. Hari dimana mereka melihat Sasha untuk yang terakhir kalinya. Mereka percaya bahwa Tuhan menyayanginya, maka dari itu Dia mengambil nyawa hamba-Nya terlebih dulu.

Fery berjanji, ia akan menemani setiap detik-detik terakhir sebelum Sasha menutup kedua matanya untuk selama-lamanya. Sebelum ia menuju keabadian.

***

Keesokan hari, Sasha tersadar dari tidur lelapnya. Ia membuka perlahan kedua matanya, tepat disampingnya ia melihat Fery yang tertidur tanpa sedetikpun melepaskan genggaman tangannya dari tangan Sasha.

“Fer..Fer.”

Suara lembut itu membangunkan Fery. Ia bahagia, karena ketika ia membuka mata yang ia lihat gadis pujaannya itu telah siuman.

“Iya, Sha. Syukurlah, kamu sudah sadar?”

“Aku takut, semalam aku bermimpi dalam tidurku. Aku melihat sepasang merpati, dimana salah satu merpati itu diam tak bergerak. Merpati yang satunya mematuk-matuk tubuh pasangannya berharap mereka bisa terbang bersama lagi.”

Fery terhenyak mendengar pengakuan Sasha tentang mimpinya. Mungkinkah itu suatu pertanda untuknya? Dia tak ingin memikirkan arti mimpi tersebut, yang terpenting untuk saat ini Sasha sudah sadar.

“Sudah jangan terlalu di pikirkan. Kamu lapar kan? Sebentar ya, aku panggil suster untuk membawakanmu makanan.” Belum juga Fery beranjak, tangannya tertahan oleh genggaman Sasha yang tak terlalu kuat. Keduanya bertatapan.

“Aku mau kamu disini, Fer. Jangan pergi, temani aku. Aku sayang kamu.”

Suara lirih Sasha meluluhkan hati Fery, ia kembali mendekat di pembaringan Sasha. Ia genggam tangannya kembali. Lebih erat dari sebelumnya. Fery percaya jika terkadang genggaman itu mampu menenangkan hati seseorang.
             
Mereka berbincang ringan, melepas rindu untuk beberapa saat. Meski Sasha hanya koma satu hari, tapi bagi Fery itu adalah waktu yang lama untuk ia lewati sendirian. Einstein pernah berteori tentang hukum relativitas waktu, ia berdalih jika waktu di alam semesta ini tidak konsisten atau stagnan. Hukum itu mungkin juga berlaku untuk orang yang saling jatuh cinta, juga tentang rindu yang sedetik pun ibarat satu hari ketika tak kunjung terobati.
            
“Sebentar Sha..”
            
Fery mengeluarkan handphone dari tasnya. Melihat benda itu, Sasha sedikit heran.
            
“Selamat pagi, apa kabar dunia? Detik ini, aku sedang bersama perempuan tercantik dan terkuat didunia ini. Aku mencintainya, tak terhitung jutaan waktu yang telah aku habiskan untuk dia. Aku tahu, waktunya tidak lama lagi, maka dari itu aku berjanji untuk selalu ada untuknya hingga di detik terakhir, di penghujung waktu sebelum ia menutup mata untuk selamanya.” Sedikit meratap ia menyusun kalimat demi kalimatnya.
            
Lelaki itu memainkan kamera handphone-nya, mengeluarkan segala resah dan gundah. Ia menahan airmatanya, ia tetap tersenyum untuk Sasha. Ia hanya ingin mendokumentasikan kenangan-kenangan terakhir sebelum Sasha pergi. Ia mengarahkan handphone-nya tepat didepan Sasha.
            
“Begitupun aku. Tuhan, aku begitu mencintai lelaki yang kini ada didekatku. Jika memang ini adalah kebersamaan terakhir kita, aku hanya berdoa semoga cerita ini kekal untuk selamanya.” Sasha tersenyum sembari mengusap bulir airmata yang menetes di pipinya. Wajah pucat itu kembali mengumbar senyum dalam sekejap.
            
Mungkin durasi yang terekam dalam video itu tak terlalu panjang. Tapi bukan itu yang terpenting, melainkan makna yang tersimpan dalam setiap detik yang ada didalam video singkat itu.
            
Tak berapa lama, kedua orangtua Sasha datang. Fery pamit kepada mereka, membiarkan keluarga itu bercengkerama dalam kehangatan. Ia tersenyum kepada Sasha, lantas pergi meninggalkan ruangan tersebut. Ia janji besok akan kembali lagi menjenguk kekasihnya tersebut.

***
            
Keesokan hari, ketika Sasha membuka mata ia tak melihat tanda-tanda kehadiran lelaki yang dicintainya tersebut. Ia hanya melihat  sebuket bunga anyelir dan sebuah surat warna merah muda tergeletak di atas meja kecil didekat ranjangnya.
            
Tanpa perlu menebak, ia tahu jika bunga dan sepucuk surat itu dari kekasihnya. Ia menyobek sampul surat tersebut lantas membaca isi dari surat tersebut.
            
Dear Sasha

            Selamat pagi, maaf hari ini aku tidak bisa menjengukmu. Lewat bunga anyelir ini aku menyampaikan permintaan maafku kepadamu. Aku tak pandai berkata-kata Sha, apalagi bersajak, tulisanku di surat ini pun hambar. Kamu jangan tertawa ya! Aku selalu berdoa, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan disetiap harimu.
             
Meski sedikit sedih karena ia tidak bisa melihat wajah kekasihnya hari ini, senyumnya merekah kembali melalui surat tersebut. Ia memeluk sebuket bunga itu lalu mencium wanginya, menenangkan seperti biasanya.
            
Di dalam ruangan ia tak terlalu banyak bergerak, hanya berbaring lemas. Ia sedikit bosan, maka dari itu ia meminta mamanya untuk mengajaknya jalan-jalan menghirup udara segar disekitar rumah sakit. Itupun dengan memakai kursi roda, serta infus yang masih menempel di pergelangan tangan kirinya.

Seharian ia ditemani mamanya, membicarakan masa lalu ketika ia masih kecil dulu. Ia merasa sedih karena waktunya harus terhenti sebelum ia mampu membahagiakan kedua orangtuanya. Ada banyak hal yang ia mimpikan, ia ingin menikah dengan lelaki yang dicintainya, mengasuh anak-anaknya kelak, dan membina keluarga bahagia. Sayang, semua itu tidak mungkin terwujud untuknya. Kenyataan terlalu menyakitkan untuk dipahami olehnya.

Mama Sasha hanya bisa memberikan sebaris kata semangat untuk putrinya, meski mungkin Sasha sudah terlalu lelah dengan kata-kata tersebut. Baginya, sudah tak ada artinya lagi, ia hanya mampu pasrah akan keadaan.

***

Hampir seminggu berlalu, keadaan Sasha kian memburuk. Lelaki pujaannya tidak terlihat lagi sejak terakhir kali mereka bertemu. Hanya sebuket bunga anyelir dan sepucuk surat yang selalu ada ketika ia membuka mata di pagi hari.

Namun hari ini, semua itu berubah. Seorang lelaki yang tak dikenalinya tiba-tiba sudah duduk disampingnya. Seharusnya Fery yang berada disitu. Mamanya berdiri disamping lelaki tersebut, gurat wajahnya seperti memendam pilu. Ada yang aneh, ia membawa sebuket bunga yang biasa dibawa oleh lelaki pujaannya. Sasha terheran setengah mati.

“Perkenalkan, saya Anto. Teman baik Fery.” Lelaki itu memperkenalkan diri. Sasha semakin penasaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Anto menangkap raut wajah Sasha yang penuh tanda tanya. Ia lalu menguatkan hati untuk menceritakan kejadian sesungguhnya, kebenaran yang dalam beberapa hari ini harus disembunyikan dari Sasha.

“Akhir-akhir ini, akulah yang mengirimkan bunga dan surat ini untuk kamu, Sha.”

Pengakuan Anto membuat Sasha tidak percaya. Ia menolaknya mentah-mentah, ia masih mempertanyakan keberadaan Fery. Dimanakah ia sekarang?

“Kamu harus tabah, Sha! Takdir itu penuh misteri, dan kita sebagai manusia tidak mampu menebaknya.” Kata-kata Anto semakin tidak dimengerti oleh Sasha.

“Fery telah berpulang, Sha. Ia telah tenang di alam sana, ia mengalami kecelakaan ketika pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu. Mobilnya menabrak sebuah pohon besar di salah satu tikungan yang tajam. Polisi menduga itu disebabkan oleh kelalaian pengendara.”

Hati dan perasaan Sasha remuk redam mendengar kekasihnya telah tiada. Ia tak pernah berpikir bahwa Tuhan mengambil nyawa Fery terlebih dahulu. Semua ini terlalu mengagetkan untuk dia.

“Lalu kenapa baru sekarang kamu memberitahuku? Mama kenapa nggak cerita ke aku?” Teriak Sasha memenuhi langit-langit kamar, amarah dan kesedihannya bercampur aduk. Ia tak memedulikan kondisinya sendiri. Mamanya refleks mendekati Sasha untuk menenangkannya.

“Ini adalah permintaan Fery, dia tidak ingin kamu tahu lebih awal. Ia sempat kritis dan dirawat di rumah sakit, tapi takdir berkata lain, Sha. Dan kamu harus tau, didalam mobil itu polisi menemukan sepucuk surat dan sebuket bunga anyelir. Disitu tertulis namamu, Sha.” Anto sedikit mengeraskan suaranya, ia berkata mantap menyakinkan Sasha.

Di detik-detik terakhir dalam hidupnya, Fery berpesan kepada Anto untuk selalu membawakan Sasha bunga anyelir beserta sepucuk surat yang berisi catatan kecil di buku hariannya. Tentang rangkaian mimpinya bersama Sasha yang tidak akan pernah terwujud. Tentang kenangan-kenangan mereka yang telah berlalu.

Fery ingin Sasha mengetahui kepergiannya ketika keadaan telah mulai membaik.

“Ini adalah sebuah rekaman Fery di saat-saat terakhirnya. Dan juga beberapa album foto yang ia titipkan kepadaku.” Anto menyerahkan handphone milik Fery beserta album foto milik Fery. Kemudian ia beserta mama Sasha pergi meninggalkan ruangan itu, membiarkan Sasha sendirian.

Sasha mencoba menenangkan diri, ia mendengarkan rekaman terakhir tersebut.

Teruntuk Sasha, cerita terindahku. Aku minta maaf karena tidak menepati janjiku, terimakasih atas kebersamaan kita selama ini. Aku harus pergi Sha, meninggalkan dunia sebelum kamu. Sekali lagi, aku bahagia karena Tuhan telah mempertemukan kita. Sampai jumpa di kehidupan yang lain, Sha. Aku sayang kamu.

Air matanya tak kuasa terbendung, takdir itu memang unik, tak pernah disangka bagaimana alurnya. Sekuat hati Sasha menerima takdir mereka berdua, mungkin di kehidupan yang akan datang mereka akan dipertemukan kembali. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

“Aku juga mencintaimu, Fer.” Gumamnya lirih dalam hati, memegang sebuket anyelir yang biasa Fery berikan untuknya. Tetesan-tetesan air mata itu terjatuh membasahi bunga-bunga indah tersebut.

Selang dua hari, Sasha mengehembuskan nafas terakhirnya. Ia menghabiskan waktunya dengan melihat rekaman terakhir mereka berdua serta memandangi foto-foto di album foto milik Fery. Kedua aktivitas itu ia lakukan silih berganti. Album itu berisi kenangan hari-hari yang telah mereka lewati bersama, dua tahun itu adalah waktu yang singkat.

Di penghujung waktu, Sasha berterimakasih kepada Tuhan atas waktu yang singkat namun berarti untuknya. Terimakasih juga telah dipertemukan dengan orang-orang yang menyayanginya. Ia tersenyum di akhir hayatnya, menghadap Tuhan sang Maha Cinta.


“Satu jam saja, ku telah bisa sayangi kamu dihatiku. Namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidupku.”
ST 12 – Saat Terakhir


0 Response to "[Cerpen] Di Penghujung Waktu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel