[Cerpen] Tentang Kita dan Hujan



Halte bus kecil didekat toko kelontong Koh Acong senantiasa ramai setiap pagi. Para pegawai kantoran, buruh, ibu-ibu rumah tangga, siswa-siswa sekolah berkerumun tak teratur di halte tersebut. Mereka berdesak-desakan naik ketika bus baru saja merapat ke halte. Cukup dalam beberapa menit bus itu disesaki para penumpang. Semua berebut tempat duduk, siapa cepat ia yang dapat.

Seorang lelaki berseragam putih abu-abu dengan jaket warna hitam sayangnya kalah cepat dengan ibu-ibu rempong yang berebut tempat duduk. Ia terpaksa berdiri bersama penumpang lain yang tidak kebagian tempat duduk. Rutinitas yang menurutnya cukup membosankan, sepanjang perjalanan ia hanya bisa mengeluh.
            
“Mas, bisa geseran dikit?” Suara perempuan terdengar samar, kalah keras dengan suara ibu-ibu yang sedang menggosip. Masih pagi mereka sudah menimbun dosa dari mulut mereka.
            
Lelaki itu enggan bergeming, dengan lambat ia merubah posisi berdirinya memberikan ruang untuk perempuan itu berdiri. Bus masih tetap melaju, meski sesekali memberikan sedikit guncangan kecil namun cukup mengusik kenyamanan.
            
“Eh, maaf mas nggak sengaja.” Ujar spontan perempuan itu, ia hampir  menubruk lelaki itu akibat guncangan bus tadi.
            
Perhatian lelaki itu teralihkan sejenak, ia menyahut ringan tanda bahwa ia menerima permintaan maaf perempuan tersebut. Ia menatap perempuan itu sejenak, mereka pun saling beradu pandang dalam waktu singkat.
            
Hati lelaki itu berdegup cukup kencang menatap pesona perempuan yang kini tengah berada dihadapannya persis. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan perempuan cantik di bus yang sesak ini.
            
“Anu..anu…” Lelaki itu yang tadinya cuek perlahan mencoba ramah, namun tiba-tiba ia menjadi bodoh seketika, intelegensinya mendadak lenyap tak membekas.
            
“Iya, kenapa mas?” Perempuan itu memasang wajah bersahabat, menjawab tak kalah ramah. Senyumnya merekah bak mentari pagi. Lelaki itu tambah gugup tidak karuan, wajahnya merah padam.
            
“Anu…mbak...ini..ehm anu saya kejepit anu.. eh nggak, maksud saya.” Jari jemarinya berakting seperti dirijen orkestra, bergerak kesana kemari sembari memikirkan kaimat yang akan ia susun. Lelaki itu keringatan, ia sudah mati gaya dan tidak tahu harus melakukan apa-apa lagi.
            
Perempuan itu sedikit tersipu melihat tingkah konyol lelaki tersebut, sekuat tenaga ia menahan untuk tidak tertawa. Tak ada pandangan risih atau semacamnya, perempuan itu menegaskan kembali pertanyaannya.
            
“Kenapa mas anu-nya? Ada yang salah?” Gelak tawa terdengar lebih keras dari perempuan itu. Ia tidak jago untuk urusan menahan tawa, mungkin sensitifitasnya dalam urusan humor cukup tinggi.
            
Bus berhenti di halte salah satu sekolah, perempuan itu bersiap-siap turun.
            
“Duluan ya mas!” Perempuan itu merekahkan senyumnya kepada lelaki tersebut. Sebuah senyuman sejuk bak mentari pagi berbalas dengan senyuman kaku setengah memaksa dari lelaki itu, kegugupannya meningkat berkali-kali lipat. Ia merasa dunia seolah berhenti berputar ketika melihat senyuman perempuan itu. Dalam hati ia berharap, semoga momen ini terulang esok hari.
***
            
Satu hari telah berlalu, sama seperti pagi-pagi sebelumnya ia masih tidak kebagian tempat duduk.
            
“Selamat pagi Mas, ehm Anu.” Suara lembut yang kemarin kembali terdengar di kedua pasang telinga lelaki itu.
            
“Pagi juga, ehm..Mbak.” Kali ini lelaki itu menyahut ramah, mengendalikan suasana. Ia tidak ingin momen canggung yang kemarin terulang kembali. Ia ingin memuji kecantikan perempuan itu, namun kalimat itu terhenti diujung bibirnya tanpa sempat terucap.
            
Perbincangan ringan terjadi diantara mereka berdua. Suasana pun tidak secanggung yang kemarin. Suara berisik para penumpang serta teriakan kernet yang bergelantungan di pintu belakang bus mereka acuhkan. Mereka seperti berada didalam sebuah ruang kasat mata dimana terdapat dinding pembatas suara.
            
“Saya turun dulu ya Mas. Sampai jumpa besok.” Senyuman itu kembali merekah.
            
Tanpa sempat menanyakan nama perempuan itu, perbincangan mereka berakhir. Seperti kata pepatah para pujangga dari antah berantah bahwa bunga bisa saja mekar di gurun yang tandus, maka bukan hal yang mustahil bunga itu mekar di tengah sesaknya bus kota.

***
            
Hujan deras mengguyur seluruh kota, ia langsung turun sesampainya bus di depan halte tempat ia biasa berangkat sekolah. Bergegas ia berlari untuk berteduh dibawah halte. Diantara banyaknya orang yang sedang berteduh dari hujan, secara tidak langsung matanya tertuju kepada perempuan manis yang tengah mendekap tubuhnya sendiri untuk mengusir dingin.
            
“Ini kamu pakai saja jaketku, biar nggak kedinginan.” Lelaki itu mendekatt, tanpa berpikir panjang memakaikan jaket kesayangannya kepada wanita tersebut. Sudah hampir seperti adegan dalam sebuah film cinta.
            
“Oh iya, Mbak namanya siapa? Nama saya bukan Anu, panggil saja Didin.” Sembari memperkenalkan diri lelaki itu menawarkan tangannya untuk berjabat tangan dengan perempuan tersebut.
           
“Nama saya Meilin, salam kenal ya Mas Anu.” Perempuan itu mencoba mencairkan suasana dengan sedikit guyonan ditengah hujan yang masih belum mereda sama sekali. Didin hanya tertawa mendengar kata ‘anu’ terlontar dari bibir lembut Meilin.
            
“Kamu baru pindah kesini? Aku jarang lihat kamu didaerah sini.” Didin memulai pembicaraan, ia sedikit mengeraskan suaranya, tak mau kalah oleh derasnya air hujan.
            
“Iya, aku tinggal bersama pamanku. Mungkin untuk beberapa bulan. Kalo Mas Didin memang asli orang sini ya?” Meilin kembali bertanya dengan senyuman bak mentari yang dimilikinya. Perasaan Didin sontak berubah menjadi deg-degan, intelegensinya kembali menghilang ketika menatap pesona indah senyuman itu.
            
“Ehm, iya anu… ehm anu saya asli disini… aduh salah ngomong lagi deh.” Ia menepuk jidatnya karena salah bicara, Meilin hanya tertawa melihat tingkah konyolnya.
            
“Aku suka hujan, orang bilang hujan itu membawa kenangan. Bagiku hujan lebih dari sekedar kenangan, hujan adalah pesan dari kenangan-kenangan itu sendiri. Meskipun kenangan itu pahit, tapi bukan berarti hujan menginginkan kita untuk bersedih hati.” Meilin secara lugas bercerita. Kedua tangannya bergerak spontan, tetes-tetes air hujan membasahi kedua tangannya. Ia tampak sedikit murung untuk sesaat, lantas ia tersenyum lagi menatap Didin.
            
“Maaf ya, jadi melankolis begini.” Ujar Meilin.
            
Didin hanya terdiam, terpesona oleh paras yang luar biasa.
            
“Mungkin kamu benar, meski terkadang hujan membawa kenangan yang cukup menyakitkan. Tapi bukan berarti kita harus bersedih, meratapi setiap kenangan dalam tetesan air hujan. Terkadang, orang punya rahasia tersendiri tentang hujan.” Entah mengapa Didin mendadak puitis, padahal beberapa detik yang lalu ia gugup setengah mati.
            
Meilin hanya tersenyum menganggapi Didin.
            
Langit perlahan mulai terang, rintik hujan mereda hingga tak tersisa. Lembayung senja sedikit memancar dari arah barat. Halte kembali sepi, orang-orang yang berteduh telah bubar barisan.
            
Didin memperkenankan Meilin untuk membawa jaket kesayangannya, berhubung kondisi sore hari masih cukup dingin akibat hujan.  Mereka pun berpisah, meninggalkan halte tersebut. Didin tersenyum melambaikan tangannya ke arah Meilin.

***
           
Satu hari terlampaui lagi, Didin berdiri didalam bus seperti hari-hari sebelumnya. Cemas ia menanti kedatangan Meilin yang tak kunjung terlihat sejak tadi. Suara kernet dibelakang terdengar cukup keras, memberikan komando agar sang sopir segera menjalankan bus.
            
Raut wajah Didin yang penuh harap atas kedatangan Meilin berubah menjadi sedikit murung. Ia tidak dapat merasakan kesejukan mentari pagi ini, karena terasa kurang lengkap tanpa senyuman Meilin.
            
Di dalam kelas, ia masih saja lesu tanpa semangat. Ceramah membosankan dari Pak Asep, guru matematika dikelasnya membuat ia ingin segera pulang ke rumah.
            
“Hei kau yang disana, ngelamun aja kau dari tadi. Bapak ceramah panjang lebar, tak kau perhatikan sama sekali. Mikiran apa kau hah? Anak istrimu di rumah?” Cetar Pak Asep ke arahnya, diikuti gelak tawa dari seluruh kelas.
            
Didin hanya menunduk, mendengarkan ceramah Pak Asep panjang lebar. Beliau mengkritik jiwa-jiwa muda yang gampang rapuh, membandingkan dengan pemuda-pemuda era kemerdekaan yang dengan segenap jiwa raganya berjuang membela negara.
            
“Kau paham nak? Bapak mengajar kalian juga buat negara, buat memajukan bangsa. Kalau semua siswa kayak kau ini, mau dibawa kemana negara ini?” Pak Asep mengakhiri ceramahnya, memberikan ultimatum kepada Didin untuk tidak mengulangi kesalahannya.
            
Urusan hati memang terkadang bikin runyam. Setiap sendi kehidupan yang terstruktur rapi seringkali berantakan karena soal hati. Meilin, hanya itu yang dipikirkan Didin saat ini.

***

Di salah satu warung pinggir jalan, Didin nongkrong disana bersama bapak-bapak tukang becak. Akhir pekan terlalu membosankan jika harus dihabiskan didalam rumah, santai sejenak lupakan tugas sekolah.
            
Segelas kopi hitam dengan beberapa bakwan hangat membuat waktu santainya lebih nikmat. Matanya tertuju pada kendaraan yang lalu lalang di jalanan, pikirannya tak lepas berangan-angan tentang Meilin. Hampir genap tiga hari perempuan itu tak terlihat rimbanya.
            
“Kau ngapain ngelamun Din? Siang-siang bolong gini, kesambet setan lu mah ntar.” Tanpa disadari Koh Acong telah duduk mangkring di depan Didin sembari menghisap rokok lintingan buatannya. Suaranya yang sedikit melengking menyadarkan lamunannya.
            
“Ah nggak Koh. Nggak mikir apa-apa.” Ujar Didin berbohong halus, sembari menyeruput kopi hitam yang digenggamnya.
            
“Kau nih tak bakat berbohong lah. Anak muda macam kau kalau nggak mikirin perempuan ya mikirin masa depan.” Cetus Koh Acong, ia mengacungkan telunjuknya ke arah Didin.
            
Entah mengapa Didin enggan mengelak. Memang benar apa yang dikatakan Koh Acong, dia sedang memikirkan seorang perempuan yang membuatnya semangatnya menghilang. Hatinya sedikit tergerak untuk bercerita kepada Koh Acong.
            
Simpang siur ia dengar bahwa di masa muda Koh Acong paling ahli kalau merayu wanita. Jejak asmaranya terbilang cukup rumit, berkali-kali ganti pacar sampai pernah di labrak para perempuan yang sakit hati karena cintanya ditolak Koh Acong.
            
“Koh ?”
            
“Apa? Kau ngomong yang jelas ?” Koh Acong menjawab enggan, ia tengah asik menghisap rokok lintingannya.
           
“Koh pernah jatuh cinta?” Didin bertanya penuh harap.
            
“Lah kau ini, siapa pula di dunia ini yang tak pernah jatuh cinta? Aku sudah berkali-kali jatuh cinta waktu muda dulu. Sekali beraksi dua tiga gadis terlampaui.” Cetar Koh Acong begitu menggelora ketika mengingat masa-masa mudanya.
            
Mereka bertatapan sejenak, Didin kian mantap menceritakan kisah cintanya kepada Koh Acong. Sebelum cerita dimulai, Koh Acong memesan sepiring bakwan dan pisang goreng sebagai pelengkap. Ia lalu menata posisi duduknya.
            
“Nah, kau sekarang ceritalah! Aku kasih tips ampuh buat kau nanti.”
            
Didin memulai ceritanya, berawal dari sesaknya bus penumpang di pagi hari.  Tingkahnya yang gugup setengah mati ketika berada didepan perempuan yang ia suka.  Kata ‘anu’ yang spontan ia ucapkan membuat perut Koh Acong terpingkal-pingkal.
            
“Kau ini baru segitu sudah gugup, apalagi kalau ketemu calon mertua.” Koh Acong menyela. Jeda beberapa detik, Didin menyeruput kopinya sejenak. Koh Acong mengambil sebuah pisang goreng hangat dan mencicipinya pelan-pelan.
            
Cerita berlanjut ketika mereka berdua berteduh di bawah halte, hujan kala itu begitu deras. Ia teringat ketika menitipkan jaket hitam kesayangannya kepada perempuan itu. Semenjak itu, ia tak pernah melihat perempuan itu lagi.
            
“Alah, kau tak usah cengeng hanya karena begituan. Kau terlalu menyimpan harapan, tapi tak perlu khawatir Koh punya tips buat kau.” Didin menatap Koh Acong, menanti sepucuk tips cinta darinya.
            
“Kau pergi ke kantor polisi, laporkan kalau kau baru kehilangan sepucuk hati untuk perempuan yang kau sayangi.” Tawa Koh Acong terdeengar keras seusai memberikan tips ngawurnya kepada Didin. Raut wajah Didin yang bertambah kusut membuat Koh Acong diam sejenak.
            
“Ah, Koh hanya bercanda Din, tak usah kau ambil hati. Kau tau filosofi daun kelor, dunia itu tak sesempit daun itu Din. Nenek kau apa tak pernah berpesan bahwa bunga yang ketika gugur satu, itu akan tumbuh seribu. Ah, kau mana tau kalimat bijak tersebut. Ngomong-ngomong, siapa nama perempuan yang bikin kau galau setengah mati?” Koh Acong bertanya penasaran.
            
“Meilin.” Tukas Didin mantap.
           
“Alamak, kau naksir sama keponakanku. Jangan bilang kau sudah berbuat macam-macam sama Meilin, kubunuh kau nanti.”
            
Mendengar pernyataan Koh Acong ekspresi Didin setengah sumringah. Wajahnya yang kusut layaknya pakaian yang belum disetrika berubah seketika.
            
“Jadi Koh ini pamannya Meilin?”
            
“Haiya, kau baru tau sekarang. Koh kasih tau, Meilin mah banyak yang naksir. Kau perlu usaha ekstra Din. Aku lihat di kamarnya, dia banyak menerima surat cinta dari para lelaki seumurannya.”
            
Mendengar ucapan Koh Acong, nyali Didin sedikit menciut. Rasa pesimis sebisa mungkin ia tepis, demi senyuman bak mentari pagi ia akan berusaha.
            
“Oh iya, kalau kau pengen ketemu Meilin, hari ini kau bisa datang ke toko. Kebetulan dia sudah sehat, makanya Koh suruh dia buat jaga toko. Tiga hari sebelumnya dia demam. Jangan lupa bawa sesuatu buat dia, minimal kau terlihat romantis lah dimatanya. Koh pergi dulu, mau ke kota sebelah buat ambil barang dagangan.”
            
Dalam sekelebat Koh Acong telah tak terlihat punggungnya, menghilang diantara kerumunan orang yang lalu lalang. Didin segera bangkit dari tempat duduknya, ia mengecek isi dompetnya. Berpikir keras tentang sesuatu yang ingin ia berikan kepada Meilin.

***
            
Didepan toko kelontong Koh Acong, lelaki itu berdiri setengah ketakutan. Cemas dan menguatkan hati untuk bertemu perempuan pujaannya.
            
“Koh, Koh, Koh.” Teriaknya berpura-pura, walau sebenarnya ia tahu bahwa Koh Acong sedang pergi.
            
Dari balik bilik kecil di toko tersebut, keluar seorang perempuan dengan rambut yang tergerai. Ia segera menguncir rambutnya, gerakannya nan elok membuat lelaki itu tambah gugup tidak karuan.
            
“Eh Mas Didin, mau cari apa Mas?” Meilin bersikap ramah, merekahkan senyum seperti biasa.
            
“Ehm anu, saya mau beli…ehm anu itu lho? Anu yang kemarin. “ Kegugupannya kembali terulang, kalimatnya berantakan.
            
“Mohon maaf ya Mas, disini kami tidak menjual anu.” Ledek Meilin lugas, ia tersenyum simpul menahan tawa melihat tingkah Didin.
             
“Eh sebentar ya Mas, saya tinggal dulu.” Meilin melangkah pergi menuju ke belakang. Didin masih tetap berdiri merutuki dirinya sendiri.
            
Meilin kembali sembari membawa jaket hitam kesayangan Didin.
            
“Terimakasih ya Mas, ini saya kembalikan jaketnya.” Didin menerima ucapan terimakasih Meilin, ia tambah grogi melihat senyuman Meilin.
           
“Ehm, aku dengar kamu sakit akhir-akhir ini, makanya aku datang kesini untuk menjengukmu.” Meilin sedikit merasa heran tentang kabar bahwa ia sakit, secara terus terang Didin menjelaskan bahwa ia tahu dari Koh Acong. Ia juga bercerita tentang masa lalu Koh Acong yang pintar merayu perempuan.
            
Meilin tertawa lebar mendengar cerita Didin, suasana yang canggung lebih tercairkan.
            
“Jadi Mas Didin kesini tidak untuk membeli anu ya?” Ujar Meilin sedikit menggoda Didin. Niat tersembunyi Didin akhirnya terbongkar, tak ada alasan lagi yang mampu ia berikan. Meilin sudah pasti mampu menebaknya.
            
“Ini buat kamu, Mei.” Sebungkus batagor hangat ia berikan kepada Meilin. Bukan sebuket mawar, bukan pula sebatang cokelat, budget yang tersisa di dompet Didin cukup memiriskan. Alhasil, sebungkus batagor buatan mas-mas di pinggir jalan menjadi pilihan terbaik Didin.
            
Meilin menerima hadiah yang tak seberapa itu dengan sepenuh hati. Ia kemudian mengajak Didin untuk duduk bersama di halte bus. Meilin berpamitan kepada bibinya sebentar untuk meninggalkan toko.
            
Di bangku halte mereka duduk berdua, Meilin menikmati batagor hangat. Ia dengan tingkah sedikit manja meminta Didin untuk menyuapinya. Berhubung kondisi halte cukup sepi, Didin menyanggupinya. Tangannya beratraksi layaknya pesawat terbang yang meliuk-liuk, Meilin tersenyum manja.
           
“Aku boleh tanya sesuatu?”  Didin membuka suara, Meilin mengangguk pelan. Kedua mereka bertatapan, hening sejenak.
            
“Apakah benar jika di dalam kamarmu tersimpan kumpulan surat cinta dari orang lain yang menyukaimu?”
           
Meilin mengernyitkan dahinya, heran setengah mati dengan pertanyaan Didin.
            
“Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti.” Dengan lugas ia menjawab. Lantas ia tertawa keras, tak ada satupun surat cinta di kamarnya. Raut muka Didin kusut masam menahan malu. Dalam hati dia menahan kekesalan atas penipuan yang dilakukan oleh Koh Acong, di satu sisi ia bahagia karena Meilin tidak mendapat surat cinta tersebut.
            
Tanpa mendung, gerimis tiba-tiba turun. Itu pun tak lama, dalam beberapa menit gerimis itu berhenti. Lengkungan warna-warni pelangi terlihat begitu indah di langit. Meilin meraih tangan Didin, keduanya berdiri menatap langit tepat tertuju pada warna-warna yang terlukis indah disana.


Baca juga: Cerpen - Pria yang Menangisi Semangkuk Mie Instan

0 Response to "[Cerpen] Tentang Kita dan Hujan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel