[Cerpen] Memeluk Kenangan
Langit di malam
ini terlihat terang memancarkan pesonanya, gelapnya tak terlalu pekat,
diterangi oleh sinar rembulan berhiaskan bintang-gemintang yang berpendar. Aku
tengah duduk sendirian, di salah satu bangku dekat alun-alun kota. Ramai orang
yang lalu lalang tak ku perhatikan.
Kepalaku mendongak ke arah langit,
menyaksikan satu persatu bintang hingga bosan. Angan-anganku melayang menembus
imaji, kureka ulang kenangan-kenangan yang telah berlalu.
Aku
masih duduk di bangku yang sama, di tempat favorit kami berdua dahulu. Bangku
ini masih menyimpan cerita masa lalu yang indah sekaligus menyakitkan.
“Ris, kamu apa kabar? Sudah hampir
empat tahun berlalu.” Gumamku lirih dalam hati, menyebut nama perempuan yang
pernah kusayangi. Perempuan yang kini telah pergi dari pelukanku, yang aku tak
tahu sekarang dia ada dimana dan bersama siapa.
Masa lalu adalah hal yang selalu
unik untuk dikenang, meski pun sedikit pahit. Ada banyak kisah-kisah indah yang
tak akan mungkin terlupakan hanya dalam hitungan detik. Tak jarang, perlu waktu
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun hingga kenangan itu memudar perlahan.
Begitupun kisah kita, sungguh suatu
kebahagiaan untukku ketika bersamamu dulu. Kita tertawa bersama, merajut
mimpi-mimpi dalam asa, dengan janji-janji manis yang terucap dari bibir kita
berdua. Aku ingat, saat-saat kamu menggenggam tanganku lembut, dengan
senyumanmu yang indah bak embun yang menyejukkan ketika mentari masih malu-malu
di kaki langit.
Semua terasa indah, ketika hanya ada
kau dan aku. Hari-hari terasa penuh warna, bukan hanya hitam dan putih. Engkau
menggoreskan tinta-tinta penuh rasa dalam selembar hatiku yang usang tertelan
waktu. Engkau menulis sajak-sajak rindu ketika malam menjemput senja.
Sajak-sajak itu kau tulis hanya untukku seorang. Sajak yang selalu aku rindukan
setiap waktu.
“Apakah kamu masih mengingatku, Ris?”
Aku kembali bertanya dengan diriku sendiri, bermonolog tanpa naskah drama.
Pandanganku
masih tertuju kepada rembulan yang bersinar terang di langit malam. Suara
keramaian dari orang yang berlalu lalang tak kugubris. Desau angin malam ini
berhembus menelisik telinga, dinginnya seolah menusuk kulit. Aku masih melamun,
tersenyum ketika mengingat masa-masa indah itu.
Aku juga masih ingat, ketika kamu
bilang jika kamu ingin terus bersamaku setiap waktu. Kalimat demi kalimat manismu
itu masih terekam di memoriku. Ketika aku memejamkan mata menanti lelap, kamu
muncul dengan sejuta kata-katamu. Aku pun insomnia karena terlalu memikirkanmu.
Ya, itu adalah hari-hari yang indah
sebelum semuanya berubah. Itu adalah waktu yang berharga, dimana hubungan kita
masih baik-baik saja.
Namun, kita berdua punya batas yang tak bisa kita paksakan. Semua
hubungan pasti punya masa, ada banyak problema, dan sayangnya kita tidak bisa
melalui semua itu. Kamu lebih memilih orang lain, meninggalkanku yang masih
teramat sayang denganmu.
Aku tahu kamu menjauhiku tiba-tiba,
tanpa alasan yang jelas. Berhari-hari aku mencoba menemuimu, tak ada hasil.
Kamu menghilang pelan-pelan, tak ada kabar juga kepastian. Aku bingung
sendirian, menyimpan tanda tanya besar dalam relung hatiku yang terdalam.
Baca juga: Cerpen - Keinginan Sederhana di Yogyakarta
Singkat cerita, kamu akhirnya
memutuskan ikatan kita hanya dalam satu malam di bangku tempatku melamun saat
ini. Semua yang telah kita rajut, yang telah kita lewati, harus rela luruh
menjadi keping-keping kenangan. Kamu tak mengerti bagaimana perasaanku yang
sesungguhnya. Aku hancur, mendengar pengakuanmu ketika kau lebih memilih dia
ketimbang aku.
Kamu
tidak pernah tahu, seberapa besar aku mencintaimu juga seberapa besar mimpiku
untuk bisa bersamamu. Yang kamu tahu, adalah kamu tidak mencintaiku lagi.
Semenjak itu, kamu tidak pernah lagi
menghubungiku. Semua cerita kita telah usai, kamu tidak pernah kembali. Aku
terlarut dalam kesedihan, menangis ketika malam menjemput, teringat saat-saat
indah dulu ketika bersamamu. Aku merasa itu hanyalah seperti mimpi yang ketika
aku terbangun kamu sudah tidak ada lagi di sampingku.
Aku sulit menerima kenyataan, rasa
cinta itu membutakanku. Kebencian itu membunuhku pelan-pelan, tak ada niat
untuk menjalani hari dengan normal. Kamu adalah perusak, yang mengobrak-abrik
diriku sempurna hingga berantakan. Seperti ganja yang membuat orang hilang
kesadaran, berhalusinasi laiknya orang gila. Sampai akhirnya aku tersadar,
memang kamu itu bukanlah yang terbaik untukku.
Kamu
adalah kesalahan yang membuatku harus mencintaimu. Aku tahu, rasa yang teramat
dalam hanya akan menyiksa diri sendiri ketika rasa itu tak tersampaikan. Juga
ketika kamu pergi, tanpa kusadari kamu telah membawa sekeping hatiku bersamamu.
Lambat laun, aku memutuskan untuk berdamai
dengan semua kesakitan ini. Aku akan menghapus perasaan cinta itu, bukan kamu
dan juga kenangan bersamamu. Aku ingin mencoba menghargai kisah yang telah
berlalu, mencoba memeluk kenangan-kenangan itu meski pada mulanya sakit. Hingga
akhirnya aku mulai terbiasa. Terbiasa untuk bernafas tanpamu.
Mungkin kebanyakan orang memilih
untuk melupakan segala kenangan tentang seseorang yang menyakiti perasaan
mereka. Tapi aku berpikir mereka salah, jika berdamai dengan rasa sakit itu
lebih indah, lalu mengapa harus bersusah payah melupakan? Sungguh, kenangan itu
terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Kenangan bersama mantan itu ada
bukan untuk dilupakan, tapi untuk dihargai dan dijadikan pelajaran. Rasa sakit
itulah yang seharusnya perlu dilupakan.
Di bangku ini, Aku sekarang hanya
bisa berdoa, disaksikan oleh rembulan dan bintang gemintang. Semoga kamu
bahagia dengan kehidupanmu. Wahai mantan kekasihku. Terimakasih karena telah
menjadi pelajaran yang berharga dalam hidupku, berkat kamu aku bisa lebih
dewasa.
0 Response to "[Cerpen] Memeluk Kenangan"
Post a Comment