[Cerpen]- Perjumpaan yang Berbeda
Sudah hampir
lima tahun berlalu, kita tidak pernah bertemu kembali sejak waktu itu. Kamu
menghilang tanpa kabar juga tanpa penjelasan. Aku memang sudah tidak berharap
apa-apa, hanya saja sedikit sesak ketika kembali teringat tentangmu dan segala
kisah yang pernah kau tulis dalam kehidupanku.
Namun hari ini berbeda, tanpa kesengajaan
aku melihatmu sekilas melintas di antara kerumunan orang-orang di depan
pertokoan. Entahlah, apakah itu hanya angan semuku yang tanpa sengaja menebak itu
adalah kamu. Tapi aku yakin bahwa itu memang kamu. Segera aku berlari
menghampirimu, tapi sayang kamu sudah tiada. Kamu menghilang lagi di antara
kerumunan orang.
Aku
tak berkecil hati. Mulai detik ini hingga esok, aku akan datang kembali ke
pertokoan ini. Barangkali, kamu akan terlihat lagi untuk yang kedua kali.
Pengharapanku tak sia-sia. Memang di
hari-hari pertama aku tidak menemukanmu. Tapi di hari kelima, dugaanku benar
bahwa itu memang kamu. Pesonamu masih terlihat menawan seperti dahulu ketika
aku masih berada di sampingmu. Kamu berjalan anggun tanpa menelisik sekitar. Kamu
tak tahu jika aku ada di dekatmu. Rambutmu yang hitam masih tergerai indah.
Aku
pun segera berlari ke arahmu menerobos kerumunan. Aku tak ingin kehilangan
jejakmu lagi.
“Hai.” Sahutku ringan ketika aku
sudah sampai di tempatmu. Kamu pun berhenti, menatap curiga seperti aku ini
penculik licik.
“Siapa?” Katamu dengan sedikit
mengernyitkan dahi. Aku tersentak, tak kusangka itu adalah kalimat pertama yang
kamu ucapkan setelah lima tahun tak bertemu. Tak kusangka kamu lupa segala
tentangku. Kukira kamu merindukanku atau mungkin akan menyambutku dengan pelukan
hangat.
“Aku Beni. Kamu lupa sama aku?”
“Maaf, aku tidak mengenalmu.”
Sahutmu singkat lantas pergi meninggalkanku.
Pertemuan yang tak lebih dari lima
menit itu berlalu cepat. Kamu lalu menghilang tertelan kerumunan. Aku tidak berputus
asa karena aku tahu bahwa itu bukanlah kamu yang kukenal selama ini. Kamu pasti
menyimpan tabir yang tak kuketahui, tabir rahasia yang harus kucari. Tapi aku
senang, ada sebuah kepastian bahwa kamu telah kembali ke kota ini.
Baca juga: Cerpen - Elegi Dongeng Sepasang Camar
***
Dua hari berselang, aku menghubungi
satu persatu teman lamamu. Tak ada balasan atau informasi yang kudapatkan.
Mungkin mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Aku semakin linglung karena
pikiranku buntu tidak menemukan jawaban.
Samai suatu ketika, salah seorang
teman lamamu menghubungiku. Aku berterimakasih sangat, secercah harapan itu
merekah kembali setelah sekian lama meredup. Namun itu tak berlangsung lama, penjelasan
dari teman lamamu menggelapkan duniaku seketika. Kamu hilang ingatan. Itu
adalah fakta menyakitkan yang harus kudengar. Nafasku sesak ketika mengetahui
kebenaran sesungguhnya.
Lima
tahun lalu, kamu mengalami kecelakaan tanpa sepengetahuanku. Dan insiden itulah
yang merenggut semua ingatanmu, juga tentangku dan segala kenangan tentang kita
berdua. Lalu kamu pindah ke luar negeri atas keputusan orangtuamu. Itu semua
mereka lakukan agar kamu mendapatkan pengobatan terbaik. Mereka mengharuskanmu
tinggal di sana sementara waktu karena takut trauma itu kembali jika kamu
tinggal di kota ini lagi. Melihat kondisimu belum sembuh total.
Aku
menyesal terlambat mengetahui hal itu. Ketika kamu kritis, aku tidak ada di
sampingmu. Tapi penyesalan pun tak ada artinya, karena itu hanya akan membuatku
terjebak dalam masa lalu yang tak mungkin terulang.
***
Pertokoan
ramai seperti biasa, aku duduk di salah satu kursi tak jauh dari situ. Aku
menantikan kehadiranmu sekali lagi. Kejadian kemarin tak kuharapkan terulang. Kali
ini aku ingin mengajakmu bicara. Tak apa jika pembicaraan itu akan menjadi yang
terakhir kalinya untuk kita berdua.
Tak
lama aku menunggu, kamu berjalan anggun seperti kemarin-kemarin. Parasmu terlihat
cantik dengan kemeja biru muda dan rambut hitammu yang tergerai. Aku
menghampirimu pelan-pelan. Kugamit pundakmu dari belakang. Kamu berbalik, menatap
sedikit curiga ke arahku.
“Kamu
lagi?” Tanyamu spontan. Aku menangkap raut sedikit kesal di wajahmu.
“Maaf,
saya teman lamamu. Kita bisa bicara sebentar?” Ucapku sopan agar kamu tidak
terusik denganku. Kamu mengangguk tanpa banyak kata, lantas aku mengajakmu
menepi ke tempat yang tak terlalu ramai, tapi masih ada beberapa orang di
sekitar.
“Apa
yang ingin kamu bicarakan?” Tanyamu dengan tatapan tajam ke arahku.
“Tidak
penting, tapi aku rindu setelah lama tak bersua denganmu.”
“Memangnya
kita dulu seakrab apa?”
Jantungku
terhujam mendengar kamu mengatakan hal tersebut. Dulu kita pernah sedekat nadi,
sebelum terpisah jauh laiknya langit dan bumi. Kamu tidak mengingat akan hal
itu. Tak ada satupun memori tertinggal di kepalamu.
“Aku adalah mantan kekasihmu. Kita
dulu pernah bersama meski tak lama. Kamu mungkin lupa tentangku setelah
kecelakaan itu. Tak apa, kamu tak harus mengingatnya.” Ujarku lirih dan kamu
masih diam menatapku. Kali ini tanpa curiga, aku yakin kamu bisa menangkap
kejujuran dari kedua mataku.
“Aku minta maaf karena tidak bisa
mengingat apapun.” Katamu singkat dan datar. Aku menggeleng, tak
mempermasalahkan hal tersebut.
“Tapi aku senang karena melihatmu
baik-baik saja. Ini sudah lima tahun aku tidak mendengar kabar tentangmu.
Namun, semua itu terjawab sudah hari ini.” Aku menjawab dengan senyum kecil,
kamu terdiam seolah tak percaya. Itu adalah waktu yang lama untuk dilalui.
“Lalu apakah kamu masih
mengharapkanku?”
“Harapan itu masih ada. Namun
sekarang sudah tak mungkin untuk terwujud kembali.” Nadaku lirih.
“Aku minta maaf, sekarang aku harus
pergi. Aku ada janji dengan seseorang. Sampai jumpa lagi di lain waktu.” Kamu berbicara
tergesa-gesa.
Tanpa
kusadari pandanganku tertuju pada sebuah cincin emas di jari manismu. Belum
sempat aku memastikan, kamu terlanjur pergi meninggalkanku di kursi sendirian.
Tanpa menoleh sedetikpun, apalagi tersenyum seperti dulu.
Aku
baru tahu, bukan hanya kehilangan ingatan yang membuatmu tidak kembali lagi ke
kota ini, melainkan kamu sudah menikah dengan pria lain. Ia adalah pria yang
menyelamatkanmu di saat kritis dulu, seorang dokter muda yang merupakan anak
semata wayang dari teman karib ayahmu.
Apalah dayaku, ada sedikit
kekecewaan yang tertinggal dalam hati. Akan tetapi, Tuhan punya takdir yang
lain. Itu adalah kenyataan yang harus aku terima dengan lapang. Hanya doa yang bisa
kuhadiahkan teruntuk kehidupan barumu. Kini, aku harus menata langkah tanpa
perlu menoleh ke belakang lagi.
Baca juga: Cerpen - Senja dan Secangkir Kopi
0 Response to "[Cerpen]- Perjumpaan yang Berbeda"
Post a Comment