[Cerpen] Penjelma Pingkan
source: id.tubgit.com
Dia terlihat cantik hari ini. Sungguh
sangat cantik. Aku duduk di sudut ruangan, menatap layar ponselku lamat-lamat.
Tanpa kuduga, ia telah berdiri di hadapanku. Kulihat samar gincunya yang merah
jambu pada bibirnya yang tipis, lalu kudengar suaranya yang ramah. Kemudian, dengan
lugas, ia pun mulai bercerita kepadaku tentang novel yang kupinjamkan kisaran
dua minggu yang lalu.
Aku menyimaknya bercerita, sembari
kusela terkadang. Ia terpukau dengan kisah cinta Pingkan dan Sarwono. Kawan,
kau tahu siapa mereka, bukan? Adalah sepasang kekasih, yang menjalin kasih
dalam sebuah novel yang diadaptasi dari puisi karya Sapardi. “Hujan Bulan Juni”
judul novel yang membuat kami berdua saling tertarik untuk membacanya kisaran seratus lembar halaman.
Senyumnya membuncah ketika ia dengan lugas bercerita. Tentang sosok
Pingkan dan Sarwono yang punya latar berbeda, agama yang tak seiman, dan suku
yang tak sama pula. Tetapi, mereka bisa membuat kisah cinta yang menarik untuk
para pembaca. Terutama, kata-kata Sapardi yang terkadang tidak kami mengerti namun
mampu membius kami. Kata-kata yang sarat akan sastra dengan beragam diksi yang
membingungkan namun mengesankan.
“Sayangnya, cerita dari novel itu
menggantung,” katanya kepadaku sedikit kecewa. Aku tersenyum menatapnya. Pendapatku
sejalan dengan pikirannya. Novel itu memang memberikan tanda tanya besar di
akhir cerita, seolah ada lanjutan dari kisah cinta mereka berdua.
“Kupikir, Sarwono mati di akhir
cerita,” kataku pelan. Aku menjelaskan beberapa kata-kata yang mengindikasikan
kemungkinan tersebut. Ia sedikit kecewa dengan penuturanku, seolah menyesalkan
jika memang Sarwono harus mati. Nyatanya, dalam novel itu Sarwono mengidap
paru-paru basah di akhir halaman. Tak ada lanjutan, atau ketegasan pasti. Akan
tetapi, dari raut wajahnya aku mampu menangkap bahwa ia mengharapkan akhir yang
indah di akhir cerita.
Dia masih di hadapanku untuk
sementara waktu. Lalu, ia tersenyum lagi sebelum meninggalkan tempatnya.
Sempat, aku pernah mendapatinya berkata-kata, tentang anggapan gilanya yang
mengumpamakan dirinya seolah Pingkan. Ia menjelma dan mencoba merasuk ke dalam
alur cerita. Aku sempat tertawa dalam hati, tapi aku tidak menyangkalnya. Dia
memang cantik, barangkali serupa Pingkan. Kupikir, aku bisa menjadikannya naungan
hati.
Aku terlempar ke masa lalu lagi,
ketika pertama kali aku mengenalnya. Kupikir, tak ada yang spesial dari
pertemuan itu. Dia hanya perempuan biasa, yang tanpa terduga membuat aku sesaat
jatuh cinta. Aku ingat, ia pernah tertawa kecil menatapku dengan tatapan yang
berbeda. Di sebuah kali kecil di pedesaan tempat awal perkenalan kami. Namun,
aku tak melarutkan perasaan kala itu. Kupikir dia tidak menyukaiku. Aku masih
ingat pula, ia sempat memintaku menyanyikan lagu untuknya. Aku tertawa, menatap
wajah polosnya. Lalu ia memanahkan senyumannya yang membuat aku kian yakin
kepadanya dalam waktu singkat.
Baca juga: Lara Si Gaun Merah
Sejalan kemudian, aku baru tahu
kalau dia suka menulis puisi. Kata-kata yang indah, menurutku. Ia menciptakan
puisi yang terkadang tidak aku mengerti satu pun makna dari puisi-puisi itu.
Tapi, kata-kata itu indah, seolah memiliki daya magis yang luar biasa yang
membawaku masuk ke dunianya. Barangkali, akan menjadi suatu mahakarya yang menakjubkan
jika aku membuat sebuah cerita bersamanya. Bagaimana tidak? Tentu, hidupku akan
dipenuhi oleh kata-kata. Tentu saja, ia akan selalu berpuisi tanpa kenal lelah.
Satu lagi yang paling kuingat adalah ketika aku berjalan berdua dengan dia malam itu. Malam setelah acara pentas seni yang di adakan jurusan. Hembusan angin malam kala itu seolah menusuk kulit, juga bintang yang tak tampak karena kalah dengan cahaya lampu perkotaan. Sejatinya, aku berharap malam itu rembulan menyala terang ditemani bintang gemintang yang berpendar. Barangkali, akan terlihat romantis jika waktu itu aku mengungkapkan kata cinta untuknya. Karena kupikir, dia juga mencintaiku waktu itu. Sungguh, anggapan yang konyol tapi juga membuatku tersenyum sendiri ketika mengingatnya.
Satu lagi yang paling kuingat adalah ketika aku berjalan berdua dengan dia malam itu. Malam setelah acara pentas seni yang di adakan jurusan. Hembusan angin malam kala itu seolah menusuk kulit, juga bintang yang tak tampak karena kalah dengan cahaya lampu perkotaan. Sejatinya, aku berharap malam itu rembulan menyala terang ditemani bintang gemintang yang berpendar. Barangkali, akan terlihat romantis jika waktu itu aku mengungkapkan kata cinta untuknya. Karena kupikir, dia juga mencintaiku waktu itu. Sungguh, anggapan yang konyol tapi juga membuatku tersenyum sendiri ketika mengingatnya.
Sayangnya, perasaanku untuknya tidak nyata. Perasaan itu sementara, tidak kujadikan ketetapan. Perasaan yang pernah tumbuh itu nyatanya tak bertahan lama. Seperti ada musim lain yang harus merenggutnya.
Dan pada akhirnya, dia bukanlah perempuan yang mampu membuatku menjatuhkan
pilihan. Dia hanyalah perempuan ke sekian yang pernah kutemui dan sebatas
singgah lalu pergi. Namun, dia harus tahu, jika aku senang mengenalnya dan aku
mengagumi kepiawaiannya dalam menulis kata-kata.
Teruntuk dia, perempuan yang menjelma seolah Pingkan.
Malang, 30 Oktober 2017
0 Response to "[Cerpen] Penjelma Pingkan"
Post a Comment