[Cerpen] Senja dan Secangkir Kopi

sumber: suwalls.com

Aku selalu suka menikmati senja sendirian. Terutama ketika tidak ada kerjaan, hanya melamun serta menikmati secangkir kopi pahit tanpa gula. Duduk di teras sembari menatap langit yang mulai tersapu petang.

Senja memang selalu punya rahasia, punya cerita bagi setiap orang. Ketika mentari mulai tenggelam di horizon cakrawala, serta ketika langit mulai memudar birunya berganti merah kekuningan. Kenangan tentang senja, adalah kenangan yang tidak mudah dilupakan.

Begitupun sekarang, aku duduk di salah satu kafe. Memesan secangkir kopi tanpa gula kepada pelayan. Ia sudah biasa dengan pesananku, bisa dibilang aku adalah pelanggan tetap. Kopi tanpa gula punya filosofi yang cukup dalam, memang pahit tapi tak segetir pahitnya kehidupan. Kopi itu minimal mengerti rasa sakit yang kupeluk sendirian, teman setia yang paling bisa mengerti cintaku yang telah kandas dan hilang.
Dua bulan lalu, aku dan dia masih duduk hangat bercengkerama menikmati senja. Kala itu aku masih menyukai kopi dengan gula. Dia memang tak suka kopi, lebih senang memesan jus dingin. Kami tertawa, membicarakan masa depan. Hubungan kami memang berjalan cukup lama, sudah sepatutnya kami berlanjut ke jenjang yang lebih serius.

Aku sudah bertekad menikahinya, tapi aku masih perlu waktu. Kerjaku masih serabutan, terlebih orangtuanya menuntut lebih dariku. Dia masih sabar, dengan sabar menungguku mapan.

“Sejujurnya aku tidak takut miskin, asalkan bersamamu.” Katanya tempo lalu. Masih kuingat kuat. Tatapan mata penuh keyakinan itu menyemangatiku. Tentu aku tidak akan membiarkannya hidup menderita bersamaku. Aku ingin dia bahagia, dengan keluarga kecil yang nantinya kami rajut bersama.

“Aku janji akan membahagiakanmu.” Kala itu aku berkata manis, itu bukan dusta belaka. Itu janjiku. Penghasilanku mungkin tak seberapa, aku hanya seorang karyawan kantoran. Namun aku percaya jerih payahku pasti akan membuahkan hasil.

Sebagai seorang perempuan, dia memang sabar menunggu. Sayang, kata ‘menunggu’ tidak berlaku untuk kedua orangtuanya. Mereka memaksanya untuk segera menikah, ada banyak calon yang lebih baik. Orangtuanya sudah memilihkannya satu. Pria yang lebih mapan dan tentunya tampan. Ah, aku pun tidak kalah tampan dengan calon pilihan orangtuanya. Hanya saja kemapananku masih mereka pertanyakan, mereka menganggap bahwa aku masih tidak punya masa depan.

“Aku takut melawan orangtuaku. Aku mencintaimu. Sejujurnya, aku hanya ingin menikah denganmu.” Katanya waktu itu di kala senja. Aku tahu dia bersedih. Ini bukan lagi zamannya Siti Nurbaya dimana perjodohan masih lumrah. Dia seharusnya berhak memilih dengan siapa dia akan menikah. Namun keputusan orangtuanya tidak dapat diganggu gugat.

“Mengapa kamu tidak mengajakku kawin lari saja?” Dia merengek, meminta hal gila.

“Tidak.” Aku menggeleng. Itu bukan keputusan terbaik. Pikirannya sedang kacau, kawin lari itu sungguh melelahkan. Tidak semudah yang dibayangkan. Aku tidak bisa menikahinya tanpa restu kedua orangtuanya. Pernikahan kami nantinya tidak akan berkah.

“Menikahlah dengan pilihan orangtuamu. Aku yakin mereka ingin kamu bahagia. Bukan bersamaku.” Dengan sedikit terpaksa, aku melepas dia pergi. Aku tak punya kuasa apa-apa saat itu. Dia sedikit kesal denganku, bercampur sedih. Kemudian pergi, meninggalkanku di kafe tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Kejadian itu pun masih terjadi ketika senja. Senja selalu punya kenangan untuk kami berdua.

Dua hari sebelum pesta pernikahan berlangsung, dia mengajakku bertemu kembali di kafe. Dia menitipkan sebuah undangan bersampul merah muda berhiaskan pita. Disitu tertulis rapi kedua nama mempelai. Beserta foto pre-wedding. Dia tampak cantik dengan gaun pengantin. Ada sedikit kekecewaan, seharusnya aku yang ada di foto undangan tersebut.

“Aku harap kamu datang. Itu adalah keinginan terakhirku.” Pintanya. Matanya sembab, sepertinya ia baru saja menangis semalaman. Mungkin menangisiku, pikirku.

Aku diam tak menjawab permintaannya. Dia masih menatapku berkaca-kaca penuh harap. Dia tidak memiliki banyak waktu. Menjelang pesta pernikahan, ada banyak hal yang harus dia persiapkan.

Di dalam kamar aku masih terdiam, menatap undangan itu lamat-lamat. Aku tidak yakin. Sedikit segan jika harus menunjukkan wajah kekalahanku di pesta nanti. Terutama di depan kedua orangtuanya. Kehadiranku mungkin diharapkan olehnya, tapi tidak dengan mempelai pria beserta para undangan.


Baca juga: Cerpen - Radio Kenangan

Keputusanku bulat. Aku tidak datang di hari pernikahannya. Waktu itu aku hanya memutar lagu-lagu sedih di teras rumah. Menyeduh secangkir kopi tanpa gula. Awalnya aku tidak mampu menikmatinya, ingin rasanya cepat-cepat kubuang. Namun hal itu sedikit kupaksakan. Kuseruput pelan-pelan dan kuresapi pahit dalam secangkir kopi tersebut.

Bukankah patah hati juga demikian konsepnya? Rasa sakit itu memang tidak mengenakkan, akan tetapi ketika sakit itu dinikmati pelan-pelan, lama-lama akan terbiasa. Barangkali rasa sakit itu mampu membuat seseorang kecanduan.

Selepas pernikahan tersebut, aku bertekad untuk tidak lagi menghubunginya. Takut jika hal itu malah akan merusak hubungan harmonis mereka. Aku pun menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Berkat usaha kerasku selama dua tahun, akhirnya aku memeroleh kenaikan jabatan. Aku juga merintis sebuah usaha waralaba sebagai bisnis sampingan. Lumayan, penghasilannya cukup menguntungkan. Keadaanku sekarang sudah jauh berbeda dengan dulu. Kini aku sudah mapan. Sayang, waktunya sangat tidak tepat.

Entah mengapa, aku sekarang tiba-tiba mengharapkan dia kembali. Rindu akan tawa dan senyumannya. Memang sedikit tidak tahu diri, tapi aku memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah orangtuanya. Tak ada maksud apa-apa, hanya ingin menjalin tali silaturahmi. Ketika sampai di depan pintu rumah orangtuanya, aku menghela nafas. Kuketuk pelan sembari mengucap salam.

Ayahnya membukakan pintu. Sedikit pangling denganku yang berdiri gagah di hadapannya. Tanpa memperkenalkan diri, ayahnya dengan cepat mengingat siapa aku. Kemudian mempersilahkanku masuk ke dalam rumah. Rumah ini tampak sepi. Hanya ada kami berdua yang tengah berbasa-basi. Ayahnya tahu apa maksud kedatanganku kemari. Tak ada kemarahan, yang ada malah gurat wajah sedih bercampur pilu.

“Dia sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.” Kalimat singkat dari ayahnya  yang langsung mengejutkanku. Aku terhentak tidak percaya. Beliau bercerita bahwa dia meninggal dunia karena sebuah kecelakaan.

“Saya menyesal. Andai saja jika dulu saya mengizinkan kamu menikahi anak saya.” Ungkapnya terus terang. Aku sungguh tidak mengerti tentang apa yang terjadi.

Ternyata, dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Suaminya adalah lelaki bangsat yang sukanya main wanita dan berjudi. Parahnya suaminya juga terlilit hutang, kekayaannya habis untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Mereka pun hidup dalam kesusahan. Tak jarang, suaminya melakukan kekerasan rumah tangga terhadapnya. Ia tidak kuat dan memutuskan untuk kembali ke rumah orangtuanya yang berada di luar kota. Nahas, bus yang ia tumpangi mengalami tabrakan di perjalanan dengan sebuah truk. Ia sempat kritis sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Hatiku pilu mendengar cerita tragis itu. Kemudian, aku meminta ayahnya untuk mengantarkanku ke tempat persemayaman terakhirnya. Beliau berkenan. Meski terlambat, minimal aku bisa berkunjung ke pusaranya. Menabur bunga beserta mengirimkan sebuah doa. Aku sedikit meneteskan airmata sembari memegang lembut nisannya. Berharap jika aku bisa menemuinya meski sedetik saja.

Sekarang, menikmati secangkir kopi adalah hal rutin yang selalu aku lakukan ketika senja. Ini dalam rangka caraku mengenang dia. Belum ada satupun perempuan yang mampu menggantikan dia. Entahlah, aku tidak terlalu mengerti mengapa demikian. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu, mencegahnya untuk tidak menikah dengan lelaki bangsat itu. Andai saja jika aku berkenan membawanya lari dari orangtuanya, menikah diam-diam dan membangun keluarga kecil bersama, mungkin ia sekarang masih tertawa bersamaku.

Pada akhirnya satu hal yang paling kusesali, aku tidak bisa memenuhi keinginan terakhirnya untuk datang di pesta pernikahannya. Aku hanya bisa mendoakan, semoga ia tenang di alam sana.




Sebuah cerita fiksi tentang patah hati dan cinta yang tak harus bersatu
Malang, 31 Maret 2017 


Baca juga: Cerpen - Elegi Dongeng Sepasang Camar

1 Response to "[Cerpen] Senja dan Secangkir Kopi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel