[Cerpen] Elegi Dongeng Sepasang Camar
source: kompasiana.com
Wanita
itu selalu bercerita hal yang sama, alur yang sama, dengan emosi yang sama pula.
Bangku kayu di bawah pohon tepat di sudut taman kota selalu jadi tempat yang
nyaman untuk ia bercerita. Ia adalah wanita patah hati. Sudah lama, tapi tak
kunjung sembuh deritanya. Teruntuk wanita patah hati, hal apa lagi yang
senantiasa diperbincangkan selain cerita lama yang menyakitkan. Tak jarang,
cerita-cerita itu membuat telinga yang mendengarkan bosan.
“Kau tau, dia itu bangsat. Dia adalah
lelaki terbajingan yang pernah kukenal, padahal aku menyayanginya.” Ujarnya.
Aku diam menyimak. Itu adalah kalimat permulaan yang selalu ia ucapkan ketika
bertemu denganku. Tak bosan ia menghujat lelaki yang ia sebut bangsat karena tega
meninggalkannya.
“Sudahlah, itu kan masa lalu. Aku
berkali-kali bilang, kamu harus bisa melupakannya.” Kataku, ini mungkin sudah
yang kesekian kali aku bertitah demikian. Dia sungguh bebal, nasihatku tak
pernah dicamkan olehnya.
“Ah, kau mudah bilang demikian. Kau
tak mengerti rasanya patah hati yang tak berujung, seperti yang kualami
sekarang.” Katamu sedikit menggertak. Aku tak tersentak, karena aku sudah
menebak bahwa kamu akan berontak. Lalu aku tertawa kecil, menertawakan patah
hatimu.
Kau tak marah, meski sedikit sakit
ketika kaucubit bahuku dengan kukumu yang sedikit tajam. Kuku dengan kuteks
merah merona yang nampak seperti bekas darah. Kita tertawa bersama lalu hening,
kemudian kau bercerita kembali.
Baca juga: Cerpen - Titip Cintaku
“Andai jika si bangsat itu memiliki
sikap sepertimu. Santun dan asik diajak bercerita. Mungkin aku tak segila ini.”
Aku tersenyum, sedikit berbunga mendengar kalimat itu. Ya, aku selalu berusaha
ada untukmu. Mendengarkan ceramah nakalmu, tentang peri cinta yang pernah kau
ciptakan lewat khayalanmu. Tentang pangeran yang suatu saat menyembuhkan patah
hatimu. Aku hampir jenuh berbalut keluh, namun kau tak sadar-sadar. Ingatanmu
masih tertinggal dalam sejarah, sedang ragamu lumpuh dalam waktu yang berjalan
linier.
“Kok diam?” Tanyamu heran. Dari
tatapan matamu kau memaksaku untuk bicara meski aku kehabisan kata-kata.
“Apa kau tidak ingin membuka hati
untuk orang lain?”
“Entah, aku masih menunggu pangeran
yang pernah kuceritakan padamu. Kau masih tidak mengerti tentangku.” Katamu
datar sedikit ketus. Detik itu, aku ingin bilang bahwa akulah pangeran yang
kautunggu itu. Namun kau ta pernah menyadarinya. Mungkin jika ada penobatan
siapa manusia paling tak peka di jagad raya ini, aku akan dengan cepat menjawab
bahwa itu kamu.
Kita telah mengenal sejak lama, dan
aku masih tetap mengagumimu. Masih pekat dalam renungan, ketika kau masih
tampak seperti mangga ranum dengan seragam abu-abumu. Tapi lihatlah sekarang,
kau sudah seperti sayur basi. Tak ada senyum seindah dulu. Aku ingat caramu
tertawa, ketika kau bercerita tentang lelaki bangsat itu. Senyumku pun tak mau mengalah,
meski hakikatnya aku kalah. Mungkin aku terlalu pintar memainkan drama, dengan
kisah-kisah antah.
Baca juga: Cerpen - Radio Kenangan
Malam ini kau mengajakku ke bukit.
Membawaku bernostalgia bersama, menembus dinginnya malam, serta menyaksikan
bintang di angkasa. Namun, dimanapun kita berada semua masih tetap sama. Lelaki
itulah yang selalu kau ceritakan, tak kunjung bosan. Kau memulainya dengan
mengingat kenangan-kenangan indah, aku terdiam menyimak kata-katamu. Lalu
dilanjutkan dengan akar permasalahanmu dengan si bangsat itu. Cerita pun kau
akhiri dengan airmatamu.
“Sudahlah, airmatamu terlalu
berharga untuk kau jatuhkan demi lelaki bangsat itu.”
“Menyedihkan.” Sahutmu lirih sembari
menyeka airmatamu.
“Kau tidak ingin bercerita
untukku?”Tanyamu melanjutkan. Kalimatmu pun berlalu cepat terbawa hembusan
angin malam. Sejenak aku berpikir, aku tak pandai berdongeng. Mungkin akan kau
tertawakan nantinya. Akan tetapi, mata binarmu merayuku untuk mendongengkan
sesuatu. Ah, otakku berpikir keras. Kau mengernyitkan dahi, tak sabar
mendengarkanku bercerita.
Lalu aku pun memulainya. Dongengku ini tentang dua ekor camar yang
terbang ceria di atas laut. Menikmati hembusan angin pantai, terkadang
bertengger berdua di sebuah tiang lampu. Lalu suatu ketika si betina terpesona
oleh kejantanan elang yang sekelebat terbang, ia pun pergi. Mengikuti jejak burung
buas itu, meninggalkan pejantan yang tetap menanti di atas tiang lampu. Tak
peduli pagi atau senja, pejantan itu tetap terdiam di tiang lampu. Berharap si
betina kembali untuk menemaninya terbang.
“Lalu apa yang terjadi?” Pintamu tidak sabar.
“Si pejantan sedih bercampur bahagia.”
“Memangnya apa yang terjadi?”
“Si betina kembali, namun sayapnya terluka. Tanpa diduga elang itu
mencoba memangsa si betina. Ia hanya berpura-pura manis, nyatanya ia tetaplah
elang yang siap memangsa si betina kapanpun. Tapi sayang, si betina masih
terpesona dengan kejantanan sang elang. Meski demikian, si penjantan tetap
tegar menghadapi si betina.” Aku menutup cerita, tapi kau terlihat tidak puas
dengan akhir dongeng itu. Meski kau meminta akhir yang manis, aku mengelak, kau
akan tahu sendiri nantinya. Kau masih lugu, makna dongeng itu belum kau pahami
utuh.
“Terimakasih, kau mau menemani waktu-waktu membosankanku. Aku merasa
Tuhan terlalu baik telah menghadirkanmu sebagai teman ceritaku. Mungkin kamu
mulai jenuh denganku.” Katamu pelan sembari tersenyum. Aku menggeleng, masih
memainkan drama yang selama ini kukemas rapi. Aku memang sangat jenuh, tapi aku
masih menanti hasil baik atas kejenuhanku.
***
Hari-hari kita masih sama. Seperti
halnya senja yang merah kekuningan, bedanya kita ini kelam. Kau dengan masa
lalumu yang suram, sedang aku dengan harapan-harapan temaram. Aku menantikan
waktu yang tepat, tapi tak pernah datang.
Di bangku tempat kita bercerita, kau
menangis keras. Mengadu kesakitan, mencoba memperlihatkan kembali luka
transparan itu. Aku terheran, bukankah malam kemarin-kemarin kau terlihat
sedikit ceria? Lantas kenapa detik ini tangis itu terdengar deras?
“Aku masih belum bisa melupakannya.”
Ujarmu pelan. Kau bercerita jika mimpi buruk itu kembali hadir dalam tidurmu.
Senyum ceria malam kemarin sirna seketika. Wajah cantikmu luntur oleh airmata.
Kau masih mengingatnya, aku tak mengerti seberapa kuat kenangan itu bersarang
di ingatanmu.
Aku hilang akal, selama ini aku
berpikir bahwa dengan kehadiranku kau akan sembuh. Nyatanya aku salah, kau
tetap sama. Mengingat hal-hal itu berulang kali. Si bangsat itu masih menjadi
pangeranmu, yang bertahta di singgasana hatimu. Sudah bertahun-tahun aku
menantikanmu. Dulu aku kalah karena kau lebih memilih si bangsat itu
ketimbangku. Kini aku pun tetap kalah walau kau sudah tidak dengan dia.
Ini adalah hari terakhirku
menemanimu bercerita. Aku tak ingin mengucapkan selamat tinggal. Bukankah lebih
baik ketika kita berpisah tanpa kata-kata lalu saling melupakan? Sudah cukup
aku menantikanmu. Penantian yang selama ini kupikir tanpa arti. Kau nyatanya
tidak mengharapkanku. Dan aku tahu, bahwa camar tidak akan pernah menang
melawan elang.
Keesokan hari dan seterusnya, kau
tak menemukanku di bangku kayu atau di bukit. Aku sepenuhnya menghilang. Tanpa
jejak tanpa petunjuk. Lambat laun, kau akhirnya mulai memahami arti dari
dongeng yang kusampaikan malam itu. Lalu si betina menangis sendiri, melewatkan
pangeran camar yang dengan senang hati menemaninya melewati hari demi hari. Si
camar telah terbang jauh mengelana samudera, singgah dari satu pantai ke pantai
yang lain. Ia patah hati.
Baca juga: Cerpen - Lara si Gaun Merah
0 Response to "[Cerpen] Elegi Dongeng Sepasang Camar"
Post a Comment