[Cerpen] Lara Si Gaun Merah
source: remotegod.com
Seorang
perempuan bergaun merah duduk manis di sudut ruangan kafe. Ia tertawa seolah
tengah berbicara hangat dengan orang lain. Padahal, sedari tadi yang ada
hanyalah bangku kosong tak bertuan. Ini sudah yang kesekian kali perempuan itu
berbuat demikian. Orang-orang di sekitarnya hanya menatap sinis, berpikir bahwa
perempuan itu tidak waras.
Hampir
dua jam perempuan itu duduk sendirian tak memedulikan sekitar. Cahaya redup
dari lampu kafe menyoroti kilas wajah perempuan itu. Cantik. Para lelaki polos
hingga om-om keparat pun sepakat logikanya terhadap kecantikan perempuan
bergaun merah itu. Sayang, mereka langsung berubah pikiran ketika mendapati
kejanggalan pada perempuan tersebut.
“Maaf,
Mbak. Ini sudah malam, kafe ini hendak kami tutup.” Ujar pemilik kafe yang
dengan hati-hati mendekati perempuan itu. Dulu, ia sempat takut menegurnya.
Ada kemungkinan jika perempuan itu lepas kendali dan mengamuk, pikirnya.
Nyatanya tidak, perempuan itu berkata manis menebar senyum terhadap pemilik
kafe
“Iya,
ini saya juga sudah selesai.” Kata perempuan itu. Lalu meninggalkan kafe
sembari meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja.
Pemilik
kafe masih menatap pelanggan terakhirnya itu dari balik kaca jendela.
Menyaksikan ritual rutin yang dilakukan perempuan itu berulang kali. Ia
memberhentikan sebuah taksi biru. Sebelum membuka pintu taksi, ia melambaikan
tangan ke arah seseorang. Tak ada apapun di sana. Mungkin perempuan itu sedang
berkencan dengan hantu, pikir pemillik kafe.
***
“Arisa.”
Teriak ibunya ketika mendapati putrinya pulang larut malam. Sedikit bernada
amarah. Arisa pun menghampiri suara ibunya. Masih dengan gaun merah menawan
yang belum sempat ia tanggalkan. Mereka duduk bercengkerama di sebuah sofa
hitam. Tepat dibawah lampu mewah yang temaram.
Amarah
itu teredam ketika Arisa dengan gembira menceritakan seseorang yang baru saja
ditemuinya di kafe beberapa saat lalu. Seseorang yang hanya ada dalam sudut
pandang Arisa. Ibunya hanya diam mendengarkan. Sesekali menahan pilu mendapati
putrinya yang seperti itu.
Sejujurnya,
telinga ibunya sudah bosan ketika mendengar gosip miring dari para tetangga.
Mereka menganggap Arisa sudah gila. Salah satu dari tetangganya pernah
mendapati Arisa berjalan dan tertawa sendirian di taman kota. Berkeliling ke
sekitar, berpose seolah ia sedang bergenggaman tangan. Duduk di sebuah bangku,
sembari bercerita lepas.
Pernah
juga kedua orangtuanya terlintas untuk membawa Arisa ke salah satu dokter
spesialis jiwa ternama. Bahkan yang paling parah adalah mereka sempat ingin
bersambang ke dukun sakti di daerah pelosok. Mereka masih bimbang, dalam
beberapa kasus Arisa tampak sama seperti orang normal pada umumnya. Hanya dalam
waktu tertentu kejanggalannya muncul tiba-tiba.
Usia
Arisa sudah cukup matang. Ia sudah sepantasnya menikah, menempuh kehidupan
baru. Tapi apa mau dikata, jarang ada lelaki yang sudi menikah dengan perempuan
aneh seperti Arisa. Meskipun cantik, tapi keanehannya membuat lelaki enggan
mendekat apalagi berkumul seranjang. Kedua orangtuanya sudah mengupayakan
bermacam cara agar ada lelaki yang mampu menerima Arisa apa adanya. Nihil,
sempat mereka putus harapan. Mereka tak mampu membayangkan jika pada nantinya
Arisa harus menjadi perawan tua.
Baca juga: Melankolia Senja
Harapan
itu pun datang, ketika seorang lelaki yang mengaku sebagai salah seorang teman
Arisa datang menghadap kedua orangtuanya. Namanya Bayu. Ia berniat melamar
Arisa. Ia sudah tahu semua hal tentang perempuan itu dan bersudi menikahi
Arisa, tanpa prasyarat. Kedua orangtua Arisa bahagia sangat, mereka dengan
cepat merencanakan tanggal pernikahan. Arisa pun tak menolak, tapi tak juga
menyambut hangat rencana pernikahan tersebut. Masih ada kekosongan di hati
perempuan itu.
Pernikahan
itupun berlangsung, tak terlalu besar. Hanya dihadiri oleh kedua keluarga
mempelai serta disaksikan oleh beberapa orang
undangan. Gunjingan-gunjingan miring dari tetangga pun segera menyambar
pengantin baru tersebut. Mereka mengira bahwa Bayu sudah tidak waras karena
berkenan menikahi perempuan gila seperti Arisa. Sedikit pedas memang, tapi Bayu
tak mengambil hati perkataan tetangga-tetangga mereka. Ia pernah berniat
mengajak Arisa untuk pergi ke luar kota dan menetap di sana. Kedua orang tua
mereka juga mendukung, tapi Arisa kukuh menolak. Arisa merasa ada satu hal yang
memaksanya harus tinggal di kota ini. Meskipun itu konsekuensinya mereka harus
menghadapi gunjingan-gunjingan pedas para tetangga.
Pernikahan
itu memang sedikit membahagiakan Arisa. Akan tetapi, itu semua tidak mampu
menggubah sikap misteriusnya. Ketika Bayu tidak di rumah atau sedang bekerja,
Arisa terkadang kembali melakukan hal aneh seperti waktu dulu. Ia sering
berjalan sendirian di taman, di kafe, atau di tempat lain.
Lihatlah,
malam ini pun ia tengah duduk manis di kafe biasa dengan gaun merah. Ia tampak
cantik seperti biasa. Duduk sembari memesan dua gelas jus, lantas memulai
percakapan sendirian. Pemilik kafe tak banyak bekomentar, membuatkan pesanan
untuk dua orang. Arisa tertawa sendirian, ia tengah bercerita terkait
pernikahannya yang telah memasuki bulan kelima. Ia bermonolog sendirian,
menasihati angin kosong. Orang yang baru pertama kali datang ke kafe sedikit
tertawa melihat tingkah gila Arisa. Sedangkan yang lain, hanya diam
menyaksikan. Tak berani berkomentar macam-macam.
Selang
satu jam berlalu, Bayu tiba-tiba muncul di kafe tersebut. Ia sedari tadi
mencari Arisa yang tidak ada di rumah. Tak ada tempat lain yang ada di pikirannya
selain tempat ini. Ia pun mendekati Arisa, duduk berhadapan tepat di bangku
yang sedari tadi dibiarkan kosong. Segelas jus yang dipesan tadi juga masih
utuh.
Bayu
meneguhkan hatinya. Matanya nanar ketika mendapati istrinya masih terjebak
dengan kebiasaan yang seharusnya sudah hilang sejak lampau. Ia menggigit bibir
sebelum berbicara.
“Sayang,
kamu harus berhenti melakukan semua ini.” Ujarnya. Ia menggenggam tangan Arisa
yang lembut. Sedikit pilu. Arisa hanya diam tak bersuara, tawanya yang pecah
beberapa saat yang lalu hilang seketika. Gurat wajahnya kosong tanpa ekspresi.
“Reza
sudah nggak ada. Dia sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Kamu nggak bisa
kayak gini terus, aku mohon. Kamu harus bisa menerima kenyataan.” Ucapan Bayu
terhenti ketika mendapati Arisa tengah terisak sendirian.
Airmata
perempuan itu menetes perlahan. Ia belum bisa menghadapi kenyataan bahwa mantan
kekasihnya sudah tiada. Untuk itulah ia seringkali datang ke kafe,
berhalusinasi sendiri bahwa ia sedang berbicara dengan mantan kekasihnya yang
telah lama tiada.
Keluarganya
tahu kejadian yang sesungguhnya, bahkan pemilik kafe itupun juga mengerti.
Mereka berdua telah bersama cukup lama, sempat juga merencanakan pernikahan.
Akan tetapi takdir berkata lain, Reza meninggal dalam sebuah kecelakaan. Arisa
masih tidak percaya atas kepergian Reza. Mentalnya pun hancur mendengar
kenyataan menyakitkan itu. Kafe ini adalah tempat mereka menghabiskan waktu di
masa lalu. Tempat yang selalu punya kenangan untuk Arisa, dan itulah yang
membuat ia seringkali datang ke sini sendiran.
“Kita
pulang yuk, sudah larut. Aku janji, aku akan selalu ada untuk kamu. Kamu harus
bisa tegar menjalani kehidupan.” Bayu pun mengakhiri kalimatnya. Menikah dengan
Arisa adalah sebuah janji yang dititipkan Reza kepada Bayu sebelum meningal.
Mereka bersahabat sejak lama. Dan karena itulah, ia berkenan menikahi Arisa
sesuai janji yang telah mereka sepakati sebelum Reza pergi.
Malam
pun terlarut dalam kesedihan, mereka berdua meninggalkan kafe tersebut. Arisa
masih butuh waktu untuk menerima kenyataan. Ia akan mencoba bangkit
pelan-pelan. Meskipun Reza sudah tiada, akan tetapi masih ada Bayu di
sampingnya.
0 Response to "[Cerpen] Lara Si Gaun Merah"
Post a Comment