[Cerpen] Filosofi Patah Hati
source: intisari.grid.id
Sebuah
ruangan berukuran 5x4 meter tampak lengang. Ruangan itu dipenuhi rak-rak buku
yang merapat rapi di dekat dinding yang bercat hijau. Buku-buku itu jika
ditatap seksama sudah ibarat lukisan mozaik abstrak. Tegel putih ruangan itu
tampak mengilat. Di ruangan itu terdapat seorang perempuan yang termenung di
atas sofa hitam dan seorang psikiater.
“Apa
masalah Anda?” psikiater setengah baya itu menanyai pasiennya.
“Saya
baru patah hati,” ujar pasiennya, yang merupakan seorang perempuan cantik.
“Silahkan
bercerita, saya akan mendengarkan.”
Perempuan
itu ragu. Tatapannya tertuju pada langit-langit ruangan. Memulai kalimat awal
terasa sulit baginya, karena itu berarti ia harus mengenang semua yang telah
berlalu. Sejatinya, ia ingin melupakan kesakitan itu. Hal itulah yang
mendasarinya untuk datang ke tempat ini. Tempat bagi orang-orang yang memiliki
keinginan untuk menyembuhkan kenangan-kenangan pahit di masa lalu.
“Anda
ingin minum sejenak sebelum bercerita?” psikiater itu menawarkan segelas air
minum. Ia menolak tawaran tersebut. Sejenak ia menghela nafasnya agar lebih
tenang, kemudian cerita pun dimulai.
Baca juga: Cerpen - Mawar yang Pupus
Baca juga: Cerpen - Mawar yang Pupus
***
Namanya
Erlina. Ia tengah patah hati dengan seorang pria. Mereka pada waktu itu hendak
menikah. Semua persiapan telah mereka persiapkan matang-matang. Gedung
pernikahan, ketering, beserta undangan sudah disebar kemana-mana. Itu
seharusnya menjadi kenangan terindah yang tidak akan ia lupakan. Hanya saja,
ada satu tragedi yang menghancurkan semua itu.
Sehari
sebelum pesta pernikahan tiba, ada
seorang perempuan misterius yang tiba-tiba menemui Erlina. Perempuan itu tengah
berbadan dua. Kandungannya sudah memasuki usia enam bulan. Anak tak berdosa
yang sedang dikandung perempuan itu adalah hasil hubungan terlarangnya dengan
calon suami Erlina.
“Saya
selama ini sudah meminta pertanggungjawaban dia. Tapi tetap saja ia menolak
mengakui ini adalah anaknya. Bahkan ia memaki saya dengan umpatan-umpatan
jalang,” katanya waktu itu kepada Erlina. Sempat ia tidak percaya. Namun ketika
perempuan itu menunjukkan foto-foto hina mereka, seketika Erlina mengalami shock berat.
“Sejujurnya
saya tidak ingin mengabarkan fakta menyakitkan ini. Namun, ini saya lakukan
demi janin yang tak berdosa ini. Terutama demi kamu. Saya tidak ingin kamu
menikah dengan lelaki bangsat seperti dia. Kamu beruntung, belum menjadi korban
seperti saya,” terang perempuan itu lembut sembari mengelus perutnya saat itu.
“Aku
minta maaf. Aku akan membatalkan pernikahan ini,” Erlina menjawab tegas
setengah terluka. Ia tak bisa membayangkan jika bayi tak berdosa itu lahir
tanpa seorang ayah. Maka dari itu, ia akan mencoba membujuk calon suaminya agar
mau bertanggung jawab atas perbuatan kejinya.
Malam
hari, mereka bertengkar hebat. Calon suaminya mengelak sekuat tenaga atas
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Erlina. Hubungan mereka kemarin masih hangat,
namun sekarang sudah seperti perang hebat. Bom telah diledakkan. Amarah mereka
berkecamuk. Berbagai perabotan kamar berterbangan.
“Kamu
itu terlalu percaya dengan pesundal itu. Dia bukan anakku. Barangkali itu anak
orang lain. Kamu tidak tahu bahwa dia adalah wanita jalang,” teriak calon
suaminya menolak segala tuduhan.
“Cukup.
Aku tahu kamu hanya menghindar. Aku sudah tidak berminat lagi meneruskan
pernikahan ini. Terutama setelah tahu kalau kamu itu bajingan,” Erlina pun
bergegas melangkah meninggalkan calon suaminya.
“Hei,
tunggu. Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan ini. Keluarga besarku akan
menanggung malu nantinya,” calon suaminya memegang paksa tangan Erlina.
Mencegahnya pergi.
“Persetan
dengan keluarga besarmu,” ujar Erlina yang terlampau kesal.
Mendengar
kalimat terakhir Erlina, calon suaminya pun langsung naik pitam. Tamparan keras
ia layangkan ke pipi Erlina. Pikirannya kacau balau, ia sepenuhnya telah dikuasai
emosi.
“Diam
kau wanita jalang,” spontan ia berkata demikian kepada Erlina.
Hal
itu dalam sekejap menyakiti hati Erlina. Memang, mulut itu lebih tajam dari
pisau. Sekali caci maki dilontarkan, tak ada yang mampu menariknya kembali.
Melihat Erlina yang terpukul atas perlakuannya, calon suaminya pun luruh dan
hendak meminta maaf. Ia beralasan bahwa tadi ia khilaf.
“Hubungan
kita cukup sampai disini saja, Mas. Sekarang aku tahu sifat aslimu. Lebih baik
aku tersakiti sekarang, daripada menghabiskan sisa hidupku dengan lelaki kasar
sepertimu,” Erlina pun pergi meninggalkan calon suaminya.
Dunia
Erlina kelam ketika menghadapi kenyataan. Akal sehatnya pun hilang. Ia ingin
cepat-cepat mengakhiri hidupnya. Tak ada alasan baginya untuk hidup ketika
pikirannya sudah dipenuhi prasangka-prasangka negatif.
Lalu
ia pun nekat menenggak puluhan pil obat, membuatnya overdosis dan terkapar di
ranjang. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Ia sekarat. Namun, aksi nekat itu
segera diketahui oleh kedua orangtuanya. Secepatnya dia dibawa ke rumah sakit
untuk diberi pertolongan pertama.
Pernikahan
itupun tidak jadi berlangsung. Ia harus berbaring di rumah sakit untuk
memulihkan kondisinya. Tuhan masih menyayanginya, ia diberi kesempatan hidup
sekali lagi. Namun bagi orang yang patah hati, bernafas pun akan terasa
menyakitkan ketika kenangan-kenangan pahit itu menggerogoti batin perlahan.
***
Suasana
ruangan masih lengang. Erlina terisak menceritakan pengalaman pahitnya kepada
psikiater tersebut. Ia menenggak segelas air putih untuk menenangkan
kondisinya. Psikiater tersebut berjanji bahwa ini adalah terakhir kalinya
Erlina tersiksa akan kejadian menyakitkan itu.
“Lalu
apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Melupakan itu dengan cepat?” tanya
psikiater. Erlina mengangguk. Tak banyak berkomentar. Psikiater itupun menghela
nafas sebelum memberikan sepucuk nasihat.
“Saya
sudah seringkali menemui pasien yang patah hati. Entah karena dia dikhianati,
disakiti, dan ditinggal pergi pasangannya. Semua itu memiliki pola yang sama.
Kita terluka atas keegoisan mereka yang tega melukai kita.”
“Kamu
pernah belajar naik sepeda? Saya yakin kamu pernah,” psikiater itu pun bertanya
sedikit memberi teka-teki. Erlina mengangguk. Ia tidak mengerti maksud dari
pertanyaan tersebut.
“Kita
pernah terjatuh ketika pertama mengayuh. Lalu kita bangkit untuk mencoba yang
kedua kali. Hasilnya masih tetap sama, kita jatuh lagi. Begitupun seterusnya,
kamu tahu maksudnya?” Erlina menggeleng tidak mengerti. Psikiater itu malah
tersenyum simpul.
“Patah
hati punya kemiripan dengan kasus tersebut. Kita awalnya tidak mudah
menerimanya, kita jatuh dalam keputusasaan. Seolah hidup sudah tidak artinya.
Manusia punya kekuatan yang terkadang tidak mampu dijangkau logika. Kekuatan
untuk menerima. Itu adalah hal yang sepatutnya kita miliki. Lambat laun kita
akan mampu menerima rasa sakit itu seiring berjalannya waktu,” psikiater itu
menjelaskan panjang lebar. Hal itu memang tidak membuat Erlina lupa akan
sakitnya, namun nasihat itu sedikit memberikannya harapan.
“Pulanglah.
Saya pikir cukup untuk hari ini. Barangkali, kamu butuh pergi ke suatu tempat.
Semisal pantai atau taman untuk mendamaikan hatimu. Kita bertemu lagi besok
lusa,”
***
Hari
ini, mereka bertemu kembali. Hanya saja, Erlina tampak berbeda dibandingkan
kemarin lusa. Ia terlihat lebih ceria. Senyumnya merekah seperti bunga yang
baru mekar di musim semi. Psikiater itupun setengah heran.
“Apakah
kamu sudah bisa menerima patah hati itu?”
“Sedikit,”
Erlina menjawab singkat. Ia pun bercerita kembali tentang pengalamannya
kemarin. Sesuai saran dari psikiater itu, ia berkunjung ke sebuah pantai.
Menikmati paronama-paronama alam. Ia sedikit menemukan kedamaian ketika
menyaksikan keindahan alam itu. Terutama debur ombak yang memekik khas di
telinga.
“Entah
mengapa, aku sedikit tersadar. Ketika aku melihat anak-anak kecil bermain pasir
kemarin, rasanya masih ada kebahagiaan yang tersisa di dunia ini. Suara debur
ombak juga seolah meramaikan hatiku yang kosong. Nasihat itu benar, sedikit
demi sedikit aku mulai bisa menerima patah hati tersebut,”
Psikiater
itu ikut bahagia mendengar kabar baik tersebut. Kali ini, ia membawa sebuah
daun maple yang telah mengering
berwarna kecoklatan. Sedari tadi, Erlina memang tampak bingung dengan daun
kering itu.
“Kali
ini saya yang akan bercerita,” ujar psikiater tersebut. Ia kemudian menata
tempat duduknya senyaman mungkin.
“Dahulu
ada seorang pria yang menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Mereka
menghabiskan waktu bersama-sama. Sungguh itu adalah masa-masa yang indah untuk
mereka berdua. Tak ada tangis, yang ada hanya tawa. Mereka pun menikah dan
menjalani sisa hidup bersama.”
“Lalu
apa yang menarik dari kisah ini?” Erlina bertanya penasaran.
“Tunggulah
dengan sabar sampai ceritaku selesai,” psikiater itu tersenyum lalu melanjutkan
ceritanya.
“Suatu
ketika, istrinya berkata bahwa ia tidak mencintai dia lagi. Pengakuan yang
sungguh mendadak, sekaligus menyakitkan. Perempuan itu menjauh lalu menghilang
dari kehidupan pria itu. Mereka sudah tidak lagi bertutur kabar apalagi
bertatap muka. Tak ada kata perpisahan.”
“Pria
itu pun mencari tempat dimana istrinya tinggal. Ia ingin mencoba memperbaiki
hubungan rumah tangganya. Barangkali hubungan mereka dapat dipertahankan. Ia
pun berhasil menemukan alamat sementara istrinya. Sayangnya, istrinya telah
menjalin hubungan dengan pria lain.”
“Sungguh
memilukan. Saya yakin, perasaan itu pria itu pasti hancur. Kisahnya lebih
menyakitkan daripada kisahku,” Erlina berkata spontan. Psikiater itu pun
mengangguk. Mengumbar senyum kecil.
“Itu
adalah cerita lama. Hal itu selalu kuceritakan kepada mereka yang baru patah
hati. Kisah mereka mungkin belum seberapa jika dibandingkan dengan pria yang
ada dalam cerita tersebut,” psikiater itu menimpali.
“Bagaimana
nasib pria itu sekarang? Lalu dengan daun maple
itu?”
“Ia
sudah berdamai dengan kenangan menyakitkan itu. Aku pernah bertemu dengannya
dan menitipkan daun maple kering ini
kepadaku. Katanya, hati itu ibarat sebuah pohon. Hanya saja dalam kasus ini ia
memakai pohon maple yang katanya memiliki filosofi sebuah keharmonisan.” ujar
pskiater itu.
Ia
bernasihat bahwa hati manusia itu seperti sebuah pohon. Daun-daun yang kering
itu ibarat patah hati yang dirasakan seseorang. Semakin dalam patah hati yang
diderita, semakin banyak daun yang berguguran tertiup angin. Namun, pohon itu
mempunyai kekuatan untuk tumbuh. Meskipun itu membutuhkan waktu yang cukup lama
hingga daun itu kembali lebat. Manusia pun demikian, patah hati akan membuat
hatinya lebih kuat menghadapi kehidupan.
“Kamu
sekarang mengerti bukan, apa itu filosofi dari patah hati?” psikiater itu
bertanya untuk yang terakhir kalinya. Erlina mengangguk, senyumnya merekah
lebih lebar. Ia sekarang memiliki alasan untuk bangkit melawan keterpurukannya.
Ruangan
5x4 meter itu kembali lengang setelah Erlina berpamitan.
Psikiater
itu menyeduh secangkir kopi sembari menikmati musik klasik dari piringan hitam
di dekat jendela. Ia melamun, mengingat kenangan sepuluh tahun yang lalu.
Ketika istrinya berselingkuh dengan teman baiknya, tepat di kedua matanya.
Baca juga: 8 Penyebab Gagal Move On
0 Response to "[Cerpen] Filosofi Patah Hati"
Post a Comment