[Cerpen] Mawar yang Pupus
source: yuagset.wordpress.com
Sebuket mawar merah tergeletak di aspal jalanan. Beberapa menit yang
lalu bunga itu masih harum dan anggun. Namun sekarang lihatlah, bunga itu penuh
debu jalanan, tertindas roda-roda kendaraan yang lalu lalang. Kelopak demi
kelopak itu berguguran, bersama pupusnya harapan seorang pria.
Bunga mawar itu hendak Alfi hadiahkan kepada gadis pujaannya malam ini.
Ia pikir ini akan menjadi malam penuh kenangan indah. Perasaannya yang selama
ini terpendam akan ia utarakan. Dari rumah, ia telah mempersiapkan banyak hal.
Kata-kata cinta telah ia susun rapi dan ia rekatkan kuat agar tidak lupa
nantinya. Namun semua itu percuma, terbuang sia-sia atas suatu peristiwa.
***
Beberapa saat yang lalu.
“Lo harus pede.” Gumamnya di depan cermin. Ia tampil rapi dengan kemeja
terbaiknya. Rambutnya sengaja ia poles agak mengilat dengan pomade yang baru dibelinya kemarin sore.
Tanpa menunggu lama, ia pun menuju rumah Widya yang berjarak sekitar lima
kilometer dari rumahnya.
Mereka sudah saling mengenal baik selama kurang lebih lima bulan.
Memang, tampang Alfi tidak sekeren anak-anak biasanya. Meski demikian, ia tidak
jelek sebagai seorang pria. Hal itu pada mulanya membuat ia minder berdekatan
dengan Widya yang cantik dan menawan. Akan tetapi, harapan-harapan itu
membuatnya percaya diri.
Alfi memacu motornya tak terlalu kencang di jalanan. Udara malam ini
memang cukup dingin, namun itu tak menggentarkan tekadnya. Malam ini atau tidak
mengungkapkan sama sekali, pikirnya. Sebelum itu, ia mampir sejenak di toko
bunga. Ia hendak mempersembahkan sebuket bunga mawar kepada Widya, dengan
harapan hal itu akan berkesan di hati perempuan itu.
Motor Alfi terhenti pada jarak lima meter dari rumah Widya. Sebuah mobil
hitam terparkir tepat di depan rumah Widya. Dari sana tampak seorang perempuan
berjalan pelan menghampiri mobil itu. Meski remang, Alfi tahu jika itu adalah
Widya. Ia bersama pria lain yang tak dikenalnya. Pria tak dikenal itu
membukakan pintu mobil untuk Widya. Kemudian mereka pun pergi bersama.
Alfi yang menyaksikan kejadian
tersebut hanya terdiam membisu. Ia setengah tidak percaya apa maksud semuanya.
Selama ini, Widya tidak pernah bercerita jika ia memiliki teman lelaki
selainnya. Sebuket bunga mawar yang ia peluk rapat sedari tadi kini jatuh
terjerembab ke aspal jalanan. Pikirannya kacau, malam ini harapannya telah
pupus.
Baca juga: Cerpen - Mawar Mini Merah Muda
***
Ia dulu bertemu dengan Widya secara tidak sengaja. Tepatnya di
perpustakaan kampus mereka. Mungkin terdengar klise, sama halnya dengan
drama-drama korea atau film cinta Indonesia. Kala itu mereka tengah mencari
buku yang sama di salah satu rak. Alfi langsung gugup melihat Widya yang
terlihat cantik dengan rambut hitamnya yang tergerai. Tanpa sengaja Alfi
menjatuhkan beberapa buku yang tadinya terjejer rapi. Ia pun segera mengambil
buku-buku yang tergeletak di lantai itu.
“Sini aku bantu.” Widya bersimpuh sembari merapikan buku-buku yang
berserakan. Kedua tatapan mereka saling bertemu untuk beberapa saat. Alfi hanya
tersenyum simpul menatap pesona cantik Widya. Ia tidak pernah menyangka akan
bertemu sesosok malaikat di tempat yang disesaki oleh buku-buku ilmiah itu.
“Terimakasih.” Alfi berujar ringan setengah gugup. Widya tersenyum kecil
sembari menyibakkan rambutnya. Keduanya berbincang singkat sebelum berpisah.
Itu adalah hari yang cukup berkesan bagi Alfi. Terselip rasa suka di benaknya,
namun ia tak terlalu melarutkannya.
Selang beberapa waktu, mereka dipertemukan kembali dalam sebuah
ketidaksengajaan. Waktu itu di kantin fakultas, Alfi yang hendak membayar
makanan terlihat kebingungan. Ia lupa membawa dompetnya. Alhasil, ia linglung
cengengesan di depan ibu kantin. Sontak hal itu membuat wajah ibu kantin lesu
meredam amarah.
“Lho, kamu yang kemarin di perpus?” Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara
perempuan. Itu adalah suara Widya. Sungguh, ia tak pernah mengharapkan
kehadiran Widya, terlebih dalam suasana yang kurang bersahabat. Ia hanya
tersenyum simpul menatapnya. Setelah berpikir keras, ia pun memutuskan untuk
meminjam uang kepada Widya. Meskipun pada dasarnya ia sedikit sungkan.
“Maaf, aku lupa membawa dompet. Boleh pinjam uangmu nggak?” Tanya Alfi
malu-malu. Widya tertawa kecil menatapnya, kemudian meminjami Alfi beberapa
lembar uang. Tanpa basa-basi, ia membayar pesanannya tadi kepada ibu kantin
yang sedari tadi menunggu.
“Aku janji besok akan menggantinya.”
“Tidak perlu. Anggap saja hari ini aku menraktir kamu.” Widya tersenyum,
menolak tawaran Alfi. Sejujurnya Alfi segan jika tidak mengganti uang tersebut,
ia bersikeras untuk mengembalikannya. Akhirnya, Widya pun berkenan jika Alfi
mengembalikan uangnya.
“Oh iya, Alfi.” Sahutnya memperkenalkan diri. Mereka belum sempat berkenalan
beberapa waktu lalu ketika di perpustakaan.
“Widya.” Keduanya berjabat tangan, saling tukar menukar senyuman.
Mereka semakin akrab seiring berjalannya waktu. Keduanya sering bertemu
ketika tidak ada jam kuliah, semisal di gazebo atau mungkin di kantin fakultas.
Pembicaraan mereka cukup nyambung satu sama lain. Hal itu lambat laun
memberikan Alfi sedikit harapan. Yang lama kelamaan tak kuasa ia bendung
sendirian. Kebaikan dari Widya membuat ia percaya bahwa perempuan itu juga
menaruh harapan kepadanya.
Pada bulan kelima setelah perkenalan mereka, Alfi akhirnya memantapkan
diri untuk mengungkapkan perasaannya. Semuanya telah ia persiapkan
matang-matang sejak lama. Namun semua harus sia-sia dalam satu malam. Kenyataan
harus bertolak belakang dari harapan. Bukan kebahagiaan yang memeluknya,
melainkan patah hati yang meruntuhkan keyakinannya dalam sekejap mata.
***
Semenjak kejadian malam itu, Alfi mulai menghindar dari Widya. Meski
perempuan itu bersikeras menghubunginya. Widya sedikit menduga tentang apa yang
merubah sikap Alfi hingga seperti ini. Maka dari itu, ia ingin menjelaskan
semua yang terjadi. Kebenaran yang ia sembunyikan dari Alfi.
Dalam beberapa hari ini, Alfi memang masih kalut. Tak ada semangat
berarti bagi orang yang patah hati. Semacam ada ruang kosong yang bersemayam di
hati. Ia berkali-kali membujuk hatinya yang terluka untuk menemui Widya. Patah
hatinya masih memerlukan penjelasan. Setelah keadaan mulai tenang, ia pun
memutuskan untuk menemui Widya di salah satu kafe.
Pembicaraan mereka tidak seakrab waktu-waktu lalu. Satu kejadian harus
merubah segalanya. Itu yang terjadi di antara mereka berdua saat ini.
“Aku tau kamu patah hati. Aku ingin minta maaf.” Widya tak prlu
berbasa-basi. Ia langsung ke titik permasalahan. Ia menjelaskan bahwa lelaki
yang dilihat Alfi malam itu memang kekasihnya. Mereka sudah menjalin hubungan
sejak dua minggu yang lalu.
“Apa hanya itu yang ingin kamu katakan? Sekadar kata maaf tidak akan
menyembuhkan lukaku. Kamu tidak tahu kalau aku selama ini sayang sama kamu.”
“Maaf, sayangnya aku belum bisa sayang sama kamu. Aku selama ini
menganggap kamu hanya sebatas teman. Tidak lebih.” Widya pun menjawab perasaan
Alfi. Kalimat singkat namun mematikan.
Alfi terdiam. Kenyataan memang menyakitkan untuk diterima.
“Apakah kita masih berteman setelah semua ini?” Widya bertanya
memastikan. Sejujurnya, ia tidak ingin hubungannya dengan pria lain harus
merusak pertemanannya dengan Alfi.
“Aku tidak tahu. Kata ‘teman’ terdengar menyakitkan untukku. Selama ini,
aku salah berharap sama kamu. Harapan-harapan itu nyatanya kosong. Aku sekarang
butuh sendirian. Mungkin cukup sampai di sini pertemuan kita. Sampai jumpa
lagi.” Alfi pun meninggalkan bangkunya. Membiarkan secangkir kopi yang ia pesan
dingin. Akan tetapi, lebih dingin lukanya yang menggiris hatinya diam-diam.
Hari-harinya kelabu, ia seperti kehilangan separuh dari dirinya.
Melayang entah kemana. Keduanya tidak lagi sehangat dulu. Mereka jarang
bertemu. Atau jika mereka tidak sengaja bertemu, Alfi selalu membuang muka seolah
ia tidak mengenal Widya. Memang, terkadang patah hati punya daya yang luar
biasa untuk merenggut kebahagiaan seseorang. Seolah tak ada lagi kebahagiaan
yang tersisa. Alfi tahu itu, dan sekarang ia harus berjuang sendirian melawan
patah hatinya. Sesekali menyesali kenangan yang telah berlalu, seperti mawar
yang telah pupus.
Baca juga: Cerpen - Radio Kenangan
0 Response to "[Cerpen] Mawar yang Pupus"
Post a Comment