[Cerpen] Radio Kenangan
source: wallpaperstock.net
Malam
rabu tepat pukul sembilan, Aris selalu setia duduk di depan meja kerjanya
sembari mendengarkan radio tua. Radio itu masih menggunakan energi dari baterai
besar yang terkadang suaranya ‘krusak-krusuk’ dan sangat mengganggu
pendengaran. Barangkali ini terdengar klise, tetapi kegiatan ini terlalu
berharga untuk dia tinggalkan.
“Selamat
malam para pendengar yang setia bersama kami,” suara penyiar radio malam ini
terdengar ceria. Lelaki itu masih menyimak. Tak sabar dengan topik yang kini
hendak diperbincangkan. Siaran ini adalah siaran favorit mereka berdua – Aris
dan mantannya. Dan saat Aris mendengarkan radio ini, dia merasa mantan
kekasihnya masih berada di sampingnya.
Malam
ini, topik yang dibahas adalah tentang membuka hati. Aris tidak tahu pasti,
namun topik kali ini seolah selaras dengan suasana hatinya. Mendadak ia gundah
terutama ketika senyum manis mantan kekasihnya sekelebat hadir di kepalanya.
“Kami
sudah mengundang tamu istimewa yang akan menjadi teman curhat kita malam ini,”
ujar penyiar radio malam ini sembari memperkenalkan tamu tersebut. Tamu kali
ini adalah seorang perempuan yang bersuara lembut dan khas di telinga. Aris
masih menyimak sembari menyelesaikan pekerjaannya yang hampir selesai.
Arianti
Sukma.
Seluruh
gerakan Aris langsung terhenti seketika waktu mendengar nama itu.
Bagaimana mungkin? Gumamnya
dalam hati.
Pada
mulanya Aris tidak terlalu yakin jika perempuan yang datang di siaran itu
adalah mantan kekasihnya. Ia sempat berpikir bahwa dia adalah orang yang
berbeda - meskipun nama mereka sama persis. Sungguh terlalu mengejutkan jika
perempuan itu tiba-tiba hadir lagi setelah lama menghilang.
Namun
dugaannya ternyata keliru. Setelah mendengar dengan seksama, suara pada radio
itu memang terdengar tidak asing lagi di telinganya. Dia benar-benar Sukma.
Aris pun mendadak membeku di tempatnya. Sekali
lagi, bagaimana mungkin?
Ini
hampir empat tahun berlalu sejak perpisahannya dengan Sukma. Rindu serta lara
atas pedihnya kehilangan kini bercampur menjadi sesak yang mengacaukan perasaan
Aris malam ini.
“Apa
yang ingin Anda ceritakan kepada para pendengar malam ini?” penyiar radio itu
memulai pembicaraan mereka.
“Saya
ingin sedikit bercerita tentang perjalanan hidup saya. Saya juga berharap dia
mendengar cerita saya malam ini,” jawabnya dingin sekaligus menusuk.
“Apakah
saya boleh tahu siapa yang Anda maksud?”
“Dia
yang sangat mencintai saya,” perempuan itu menjawab singkat. Aris kian membisu
sekaligus terbenam dalam kesedihan yang kian berlarut. Ia sadar bahwa Sukma
adalah perempuan yang masih sangat dicintainya hingga saat ini.
“Baiklah,
silahkan Anda bercerita,” penyiar radio itu mempersilahkan perempuan itu untuk bercerita.
Dahulu,
perempuan itu pernah menutup hati untuk orang lain. Ia tidak percaya lagi
dengan sebuah hubungan. Hal itu dikarenakan patah hati terhebat yang pernah
dideranya ketika mempercayakan seluruh hatinya kepada orang yang salah.
Ketika
perempuan itu bercerita, suasana di studio siaran itu lengang. Perempuan itu
bercerita dengan lugas namun tegas.
“Lalu
bagaimana Anda bisa melalui masa-masa itu?”
“Pada
saat itulah dia datang ke dalam hidupku. Dia menawarkan mimpi-mimpi baru
kepadaku,” kata perempuan itu sedikit tertawa kecil. Suasana mendadak mencair
di siaran itu.
Aris
pun mendadak ikut tersenyum. Teringat awal mula ketika dia memasuki kehidupan
Sukma yang dahulu benar-benar kacau.
Baca juga: Cerpen - Filosofi Patah Hati
***
Aris
bertemu dengan Sukma pada sebuah kondisi yang sangat tidak bersahabat. Meskipun
perempuan itu memiliki sikap yang santun terhadap orang lain, namun Aris tahu
ada yang berbeda dari perempuan itu. Seolah ada rahasia yang tersembunyi di
balik paras cantik itu.
Sejujurnya,
Aris telah jatuh hati kepada Sukma ketika pertama kali bertemu. Ia tahu bahwa
membuka hati perempuan itu sangat sulit. Terutama setelah ia mendengar dari
teman-teman Sukma bahwa perempuan itu menyimpan lara hati yang cukup dalam. Ia
harus berusaha untuk mengajari perempuan itu bagaimana mempercayai seseorang
sekali lagi dengan pelan-pelan.
“Kau
tahu, aku tidak pernah bisa melupakan rasa sakit itu,” katanya waktu itu kepada
Aris di bangku taman kota.
“Kau
harus mencobanya meskipun itu berat. Aku ada di sampingmu saat ini,” Aris
menyakinkan perempuan itu sekali lagi. Sukma tersenyum waktu itu. Senyuman
ragu-ragu. Ia malah memalingkan wajahnya ke arah langit. Menyaksikan lengkung
bulan sabit yang memukau di antara taburan bintang.
Setelah
beberapa kali melakukan usaha, Aris hampir tidak tahu cara apa lagi yang harus
dia lakukan untuk membuka hati perempuan itu. Di tengah kebimbangannya, ia
teringat sebuah radio tua yang kini terletak di antara tumpukan barang-barang
bekas di gudang tua. Radio itu milik almarhum kakeknya.
Meskipun
samar, Aris masih mengingat cerita-cerita kakeknya tentang radio itu. Kakeknya
pernah berkata bahwa radio itu memiliki keunikan tersendiri. Radio mampu
membuat para pendengarnya merasa nyaman. Lewat radio itu juga kakeknya dulu
bertemu dengan neneknya.
“Aku
harus mencobanya,” kata Aris kepada dirinya sendiri. Ia ingin mengajak Sukma ke
puncak sembari membawa radio tua itu. Malam itu, dia berharap bahwa Sukma
benar-benar membuka hatinya.
“Mengapa
kau membawaku kemari? Dan radio tua itu?” katanya heran sedikit tertawa.
“Aku
ingin melewatkan malam ini dengan mendengarkan radio berdua denganmu,”
sahutnya. Senyum Aris mengembang seolah menyiratkan rasa optimis dalam dirinya.
Uniknya, alam kali ini bersahabat dengan mereka berdua. Semilir angin yang tak
terlalu dingin serta kilauan purnama menambah syahdu malam ini.
Aris
mulai memutar radio tua itu. Sempat terdengar suara krasak-krusuk yang membuat
Sukma kian mengencangkan tawanya. Dan tanpa Aris sadari, tawa itu adalah tawa
yang selama ini menghilang dari kehidupan perempuan itu. Kali ini, perempuan
itu bisa tertawa lepas untuk pertama kalinya.
“Kau
sungguh aneh,” katanya kepada Aris.
“Aku
senang melihatmu tertawa lepas malam ini. Kau terlihat sangat cantik,” Aris
spontan melontarkan pujian itu. Yang dalam sekejap membuat Sukma terdiam karena
tersipu.
“Kau
tahu, radio ini adalah milik kakekku. Katanya, radio ini punya kejaiban kecil
yang membuat kita nyaman mendengarkannya,” kalimat Aris membuat Sukma
penasaran. Kedua mata sayu itu kembali berbinar memancarkan harapan-harapan
baru.
Ia
kemudian melanjutkan ceritanya tentang kisah cinta kakek neneknya pada zaman
dahulu. Pembicaraan mereka terdengar lebih hidup ketika salah satu stasiun di
radio itu tengah menyiarkan sebuah lagu cinta lawas era 90’an.
“Aku
bersyukur telah mengenalmu. Ternyata masih ada orang baik yang Tuhan hadirkan
ke dalam hidupku,” Sukma menghela nafas panjang. Mengeluarkan segala sesak yang
selama ini dia pendam.
Semenjak
saat itu, mereka seringkali menghabiskan waktu berdua dengan mendengarkan radio
tua itu. Dan mereka akhirnya menemukan siaran favorit mereka. Sebuah siaran
yang bercerita tentang romantika kehidupan.
***
Penyiar
radio seperti ikut tersentuh dengan cerita kehidupan Sukma. Itu adalah kisah
yang menarik untuk dijadikan sebuah renungan hidup.
“Saya
yakin dia adalah orang yang sangat baik dan tegar. Entah mengapa saya jadi
ingin mengenal lelaki yang Anda ceritakan tadi,” ujar penyiar radio itu renyah.
“Iya,
saya yakin Anda akan suka dengan dia. Sayangnya, dia sedang sedih malam ini.
Dia masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Saya yang membuatnya seperti
itu,” kata perempuan itu kepada penyiar radio.
“Memangnya
apa yang terjadi?” tanya si penyiar radio itu kembali. Rasa penasaran kembali
menyelimuti ruangan itu. Suasana lengang sejenak. Sukma mengambil jeda beberapa
waktu.
"Aku tidak bisa menepati janjiku waktu itu,"
"Aku tidak bisa menepati janjiku waktu itu,"
Pada
saat yang bersamaan, dada Aris kian sesak. Ia terdiam di ruangannya. Kali ini
kesedihannya memuncak. Ia teringat peristiwa menyakitkan itu. Kali terakhir
pertemuannya dengan Sukma empat tahun yang lalu.
Baca juga: Cerpen - Takkan Terulang
***
Malam
itu hujan turun dengan sangat deras. Aris dan Sukma telah membuat janji untuk
bertemu di sebuah restoran klasik di tempat mereka. Ada sesuatu yang sangat
penting yang ingin dibicarakan oleh Aris kepada perempuan itu.
Aris
waktu itu ingin melamar Sukma. Ia telah menyiapkan sebuket mawar merah serta
sebuah kotak kecil yang berisi cincin perkawinan. Ia telah menyakinkan segenap
hatinya untuk mempersunting Sukma menjadi istrinya.
Namun,
perempuan itu tidak juga muncul meskipun Aris telah lama menunggu. Hal itu
membuat hati Aris kian resah dan gundah. Aris tidak bergeming dari tempat
duduknya hingga suasana restoran itu mulai sepi dan hendak ditutup oleh si
pemilik restoran. Perasaan Aris kian tidak enak ketika hujan yang turun malam
ini semakin deras. Ia juga tidak bisa menghubungi ponsel milik Sukma. Nomor
perempuan itu tidak aktif.
Aris
pun pulang tanpa menemukan hasil apa-apa. Hujan pun masih cukup deras ketika ia
sampai di rumah. Ketika ia hendak memasuki pintu utama, tanpa sengaja ia
melihat Sukma duduk di kursi teras.
“Kamu
darimana saja?” tanya Aris yang sangat khawatir dengan perempuan itu. Sukma
hanya tertunduk. Wajahnya pucat dan suhu tubuhnya dingin sekali.
“Maaf
aku tidak bisa menepati janjiku,” kata Sukma sedikit kaku. Aris pun bergegas
menuju ke dalam untuk mengambilkan pakaian hangat agar perempuan itu tidak
kedinginan.
Akan
tetapi, ketika ia kembali Sukma telah menghilang. Ia mencari-cari ke sekitar.
Meskipun itu artinya ia harus berlari-lari di bawah derasnya hujan. Ia tetap tidak
dapat menemukan Sukma. Firasatnya sungguh tidak enak. Ia takut terjadi apa-apa
dengan Sukma.
Semalaman Aris tidak dapat tidur. Hatinya resah dan gelisah memikirkan keadaan kekasihnya. Keesokan harinya, ia mendapatkan kabar yang sangat memukul dirinya. Sukma telah meninggal dunia. Taksi yang dikendarainya saat menuju ke restoran mengalami kecelakaan dengan mobil yang melaju sangat kencang dari arah yang berlawanan. Nyawanya tidak sempat tertolong dalam kecelakaan itu.
Aris
sangat sedih mendengar kabar itu. Seharusnya malam itu menjadi malam yang
sangat istimewa untuk mereka berdua. Namun yang terjadi malah justru
sebaliknya. Aris pun menyadari bahwa yang menemuinya malam itu adalah arwah kekasihnya
yang ingin meminta maaf karena tidak bisa menepati janjinya untuk bertemu.
Pertemuan itu pun menjadi pertemuan terakhir mereka.
***
“Mengapa
Anda tidak bisa datang pada malam itu? Padahal lelaki itu sudah yakin ingin
menikahi Anda?” tanya penyiar radio penasaran.
“Tuhan
tidak mengijinkanku datang malam itu,” perempuan itu berkata lirih. Ia tidak
bisa berterus terang kepada penyiar radio itu. Waktunya sudah hampir habis, ia
tidak bisa lagi berlama-lama di sana.
“Maaf,
saya harus segera pergi,” katanya.
“Kita
masih punya tiga puluh menit sebelum siaran berakhir. Tapi jika Anda
terburu-buru kami tidak bisa memaksa Anda. Mungkin ada yang ingin Anda
sampaikan sebagai penutup perbincangan kita malam ini,” sahut penyiar radio.
“Aku
hanya ingin kamu memulai hidup baru dengan seseorang yang lain. Aku tahu kamu
mencintaiku, tapi kita tidak mungkin lagi bersama seperti dulu. Percayalah,
hidup akan terus berlanjut meskipun tanpa kehadiranku. Belajarlah membuka hati.
Meskipun sulit, aku percaya kamu pasti bisa,”
Siaran
itu pun langsung terputus. Aris tak kuasa lagi menahan air matanya untuk tidak
jatuh. Ia tersentuh dengan kata-kata terakhir Sukma. Dan tiba-tiba semilir
angin sejuk pun berhembus. Aroma wangi menyeruak memenuhi ruangan kerja Aris.
Meski samar, ia tahu bahwa Sukma baru saja hadir sekelebat untuk menghapus
kesedihannya.
“Terimakasih
telah menghiburku,” ujar Aris lirih tanpa ada balasan.
Sejenak, hatinya merasa
tenteram. Laranya mendadak sirna. Dan ia akan mencoba untuk membuka kembali hatinya yang telah tertutup rapat.
Baca juga: Cerpen - Keinginan Sederhana di Yogyakarta
0 Response to "[Cerpen] Radio Kenangan"
Post a Comment