[Cerpen] Meneguk Secangkir Kenangan
source: pixabay.com
Hampir
setiap minggu, lelaki itu duduk di sudut ruangan kedai kopi
sederhana ini. Dipesannya secangkir kopi hitam tanpa gula sembari
memesan rokok mild kesukaannya. Kedatangannya
memang tidak menentu, namun rabu malam adalah waktu favoritnya.
Ngopi
adalah salah satu ritual rutin yang dia lakukan dengan khidmat. Terkadang,
bercengkerama hangat dengan ide-ide liar yang kerapkali memenuhi kepalanya.
Kemudian, disusul perenungan-perenungan mendalam lalu berkontemplasi sejenak
tentang cara mengeksekusi ide itu menjadi karya-karya yang bisa dia bagi ke
orang lain.
“Ah!
Sial,” gerutunya sembari menyesap rokok mild
yang dinyalakannya barusan.
Pesanannya
sudah datang. Dia mencoba menenangkan dirinya yang tengah gila dimabuk
inspirasi. Saking gilanya, dia jadi ngelantur
dan bingung untuk mengeksekusi ide yang ada di kepalanya. Semakin banyak ide
itu hadir, semakin gusar pula jiwanya. Baginya, ide-ide itu terlalu menarik
untuk dilewatkan. Sampai-sampai dia tidak tahu ide mana yang harus diambilnya
sejenak.
Lelaki
itu menatap cangkir kopinya sejenak. Dibukanya tutup cangkir itu, kemudian
diseruputnya kopi hitam tanpa gula itu pelan-pelan. Pahit tetapi menenangkan, pikirnya.
Dia
kembali berkutat dengan ide-ide di kepalanya. Dia berharap, dengan itulah ia
mampu menyingkirkan parasit yang hendak ia lupakan dalam-dalam. Namun, tetap saja
dia terkadang kalah telak dari serangan parasit-parasit yang pernah membuat
hidupnya berantakan.
Di
sela-sela perenungannya, tiba-tiba
sebuah lagu lama terdengar menelisik di telinga. Baginya, lagu adalah entitas
pengikat waktu dan momentum. Ketika ia mendengarkan sebuah lagu, ingatan
lamanya kembali muncul menyeruak seperti slide
demi slide yang berputar di dalam
kepalanya. Apalagi jika lagu itu adalah lagu kenangan yang pernah menemani
hari-harinya ketika masih menjalin kisah dengan mantan kekasihnya. Atau bisa
jadi, lagu tertentu yang menemani masa-masa patah hatinya ketika cintanya
kandas karena perempuan-perempuan yang pernah menolaknya.
Kali
ini, lagu yang diputar adalah lagu Koes Plus yang berjudul “Andaikan Kau Datang”
yang diaransemen ulang serta dibawakan kembali oleh Noah.
Terlalu
indah dilupakan. Terlalu sedih dikenangkan.
Setelah aku berjalan dan kau kutinggalkan.
Tiba-tiba
gerakannya terhenti. Dia terdiam dan melamun sejenak. Ide-ide yang tadi saling
berbenturan perlahan hening dan takluk oleh satu parasit yang datang. Parasit
yang dapat disebut sebagai kenangan lama. Ya, kenangan itu kembali melintas di
kepalanya.
Lelaki
itu meneguk kopinya perlahan. Terdiam dengan segala keheningan dan sendu yang
menyelimuti perasaannya. Wajah perempuan itu kembali terbayang di ingatan
lelaki itu. Dia adalah perempuan yang sangat susah dimengerti, menurutnya.
Hubungan mereka rumit, rancu, dan absurd. Pikirnya, hubungan mereka telah
benar-benar selesai. Namun, dia sepertinya salah. Perempuan itu selalu hadir
dan hadir kembali.
Diingatnya
kembali mata sipit perempuan itu yang tersembunyi dibalik kacamatanya.
Dibayangkannya kembali senyuman manis yang pernah membuat dunianya penuh warna
sekaligus berantakan. Lalu, dilukiskannya kembali wajah cantik perempuan itu
yang tirus dan bintik-bintik di pipinya yang kemerahan,
Lelaki
itu juga kembali teringat perkenalan manis mereka. Ketika dia baru patah hati
dengan perempuan lain dan tiba-tiba perempuan itu hadir memberinya harapan
baru. Lelaki itu masih ingat betul ketika dia mendadak goblok di depan
perempuan itu. Ah, masa-masa yang sungguh nostalgia. Apalagi ketika dia masih
sering bertukar kabar dan ngobrol ngelantur kesana-kemari dengan perempuan itu.
Meski tidak penting sama sekali, percakapan-percakapan itu terkesan bermakna.
Baca juga: Cerpen - Ijinkan Aku Menyayangimu
Laki-laki
itu menyesap kopinya kembali sembari menikmati lagu Koes Plus tadi yang masih
berputar memenuhi kedai kopi itu. Dia tiba-tiba berpikir, bagaimana jika
perempuan itu hadir kembali. Membangkitkan kembali mimpi-mimpi yang dulu pernah
kandas.
Dulu,
dia pergi tanpa pamit kepada perempuan itu. Ketika segala keadaan terasa runyam
baginya. Ketika bertahan adalah pilihan yang sangat buruk. Logikanya bekerja
dengan sangat hati-hati. Dia berpikir, lebih baik berpisah dan menjalani hidup
masing-masing daripada dia berada pada hubungan yang rumit tanpa arah.
Meskipun
lelaki itu mencintai perempuan itu, tetapi apalah artinya jika dia sendiri
tidak pernah tahu perasaan perempuan itu. Sekali lagi, perempuan itu rumit dan
susah dimengerti. Egonya tinggi dan perempuan itu kemungkinan sudah menemukan
tempat bersandar yang lebih baik. Waktu itu lelaki itu hanya berpikir, dengan
itu barangkali akan membuat hidup perempuan itu lebih bahagia. Lagipula, dia
merasa bahwa dia belum bisa memberikan kebahagiaan kepada perempuan itu.
Meskipun
lelaki itu merasa bahwa dia tidak akan pernah bisa bahagia tanpa perempuan itu,
namun kebahagiaan perempuan itu lebih penting. Selama perempuan itu bahagia, maka
itu sudah cukup. Lelaki itu tak meminta apa-apa lagi.
Kopi
pada cangkir yang saat ini tengah dipegangnya tinggal setengah. Kenangan itu
masih terus berputar. Selama kopi itu belum habis, kenangan di kepalanya tak
akan mau pergi. Lelaki itu kembali merenung, memikirkan kembali kisah-kisah
lama yang kini telah menjadi kenangan.
Baca juga: Cerpen- Takkan Terulang
Dulu,
lelaki itu berpikir bahwa perempuan itu adalah segalanya. Dia merasa dunianya
telah berhenti pada perempuan itu. Namun, dia tidak bisa menjalani hidup dengan
seperti itu. Dia harus memaksa kembali langkahnya yang sempat terjebak di satu
tempat. Sekali lagi, dia harus melangkah. Lalu, menata ulang tujuan-tujuan
hidupnya. Dia harus merengkuh mimpi-mimpi baru dan membuktikan bahwa tanpa
perempuan itu, hidupnya masih baik-baik saja.
Lelaki
itu pun menulis segala hal tentang perempuan itu ke dalam sebuah puisi, prosa,
bahkan kenangan tentang perempuan itu menggerakan semangatnya hingga dia mampu
menyelesaikan sebuah buku. Meski tak terlalu bagus dan gagal terbit, namun hal
itu merupakan sebuah pencapaian baru dalam hidupnya.
Lambat
laun, dia mulai terbiasa hidup tanpa perempuan itu. Meski seringkali, rindu
akan kabar perempuan itu tiba-tiba hadir dan membuat hatinya pilu. Namun, ia
tetap tegar dan mencoba menyakinkan dirinya sekali lagi bahwa hidupnya akan
biasa-biasa. Semua akan berjalan normal seperti sedia kala.
Lelaki
itu tidak pernah tahu bagaimana hidup akan membawanya. Selama dia melangkah,
paling tidak itu sudah bagus. Dia pun bertemu dengan perempuan-perempuan baru
dengan segala keunikan dan kekhasannya yang membuatnya sempat jatuh cinta
kembali – meskipun seringkali hal itu terjadi pada waktu yang salah.
Anehnya,
dia tak pernah benar-benar melupakan perempuan itu. Kenyamanan yang pernah
diberikan perempuan itu tak pernah pudar. Malah semakin pekat dan membuat
perasaannya semakin kalut. Ketika dia berusaha mencintai perempuan lain seperti
ada sebuah gap yang dia rasakan. Ada
satu hal yang ada di perempuan itu dan tidak ditemukannya pada perempuan lain. Hal
itu membuatnya sulit untuk menjalin hubungan yang baru.
Sampai
suatu ketika, pada saat dia sudah menemukan serta yakin untuk membuka kembali
lembaran baru, perempuan itu tanpa dosa hadir kembali menanyakan kabar seolah
semua berjalan baik-baik saja. Sekuat apapun logikanya menolak perempuan itu,
hatinya masih belum mampu. Seperti ada daya magnet kuat yang memaksanya kembali
menerima perempuan itu.
Ya,
cinta. Lelaki itu masih mencintai perempuan itu. Alasannya sesederhana itu. Tak
perlu muluk-muluk. Lelaki itu masih buta dengan cinta yang pernah
mengobrak-ngabrik kehidupannya. Di satu sisi, cinta itu bagaikan madu manis
yang menawarkan kebahagiaan, tetapi cinta juga menawarkan racun mematikan di
sisi yang lain.
Keyakinannya
benar-benar gusar. Lelaki itu memang tidak benar-benar mampu melupakan
perempuan itu. Seolah, perempuan itu masih menjadi putri yang masih menawan
hatinya. Ini bukan perkara cantik atau tidaknya dia dibandingkan perempuan
lain, hal ini lebih kompleks dari yang dibayangkan. Menyangkut masalah
kecocokan. Sebagus apapun sepasang sepatu, kalau tidak cocok dan nyaman
dipakai, buat apa? Barangkali sesederhana itulah analoginya.
Mereka
pun memutuskan untuk bertemu di salah satu kedai kopi ternama kota mereka setelah
lama tidak bertemu. Mereka sama-sama memesan kopi yang sama. Perbincangan
terasa kikuk dan ambigu. Hanya hal-hal ringan kurang penting. Sebenarnya,
lelaki itu ingin menegaskan kembali arah hubungan mereka. Ia ingin membicarakan
mimpi-mimpi lama untuk bisa menjalin komitmen dengan perempuan itu. Sayangnya,
perempuan itu terlalu rumit diajak bicara untuk membahas hal-hal serius semacam
itu. Lelaki itu tidak pernah tahu apa yang diinginkan perempuan itu.
Selepas
pertemuan itu, lelaki itu kembali merenung. Ia merasa kopi mereka telah dingin
dan tak sehangat dulu lagi. Mungkin, percuma juga jika menghangatkan kopi itu
kembali karena rasanya sudah tak senikmat yang dulu. Kisah mereka barangkali
sudah benar-benar usai, pikirnya.
Saat
ini, lelaki itu tengah sampai pada tegukan yang terakhir. Kopi yang ada pada
cangkirnya telah habis dan kenangan itupun telah berhenti. Suasana kedai kopi
malam ini juga sudah mulai sepi dan semilir angin malam yang dingin kian
menjadi-jadi. Dia menutup ritual mengenangnya malam ini, yang selaras dan
menyatu dengan kopi yang diteguknya sedari tadi.
Parasit
itu telah sempurna melibas ide-ide yang tadi saling merancu di kepalanya. Ia
meletakkan cangkir kopinya yang tinggal menyisakan ampas dan mematikan rokok mild ke dalam asbak – ini rokok keempat yang
telah dihisapnya malam ini.
Lelaki
itu mengemasi barang-barangnya yang ada di meja. Laptop, ponsel pintar, rokok,
korek api. Lalu menghela nafas sebentar. Sebelum pergi dari kedai kopi ini, dia
menatap sekali lagi foto perempuan itu dan juga riwayat obrolan mereka yang
masih tersimpan di gawainya. Dirabanya dada sebelah kirinya dengan perlahan. Kosong, ya dia merasakan kekosongan. Rasanya,
masih baru beberapa hari kemarin dia ngopi bersama perempuan itu. Namun, satu
tahun lamanya telah berlalu dan dia sekarang tidak tahu kabar perempuan itu dan dia merindukan perempuan itu malam ini.
Dengan
langkah gontai, lelaki itu pun beranjak menuju pintu keluar kedai kopi. Dia
pulang dengan tangan hampa tanpa konklusi. Meninggalkan kedai kopi yang sudah sepi.
Malang, 09/05/2019
0 Response to "[Cerpen] Meneguk Secangkir Kenangan"
Post a Comment