[Cerpen] Hatiku Tertinggal di Heidelberg
Es war an einem
Abend, als ich kaum 20 Jahr. Da küsst ich rote Lippen[1].
Sepenggal lirik lagu itu terkenang di kepalaku.
Rentetan memori lama silih berganti mampir. Secangkir kopi dan sebatang rokok
kretek kini menemaniku duduk sendirian di teras depan rumah sembari menikmati
hujan yang turun sangat deras. Hawa dingin kali ini mengingatkanku pada
dinginnya butiran salju yang turun pada saat itu. Ah, aku mendadak teringat kecupan
hangat dan rasa wien pada malam itu. Kecupan
dari dia si perempuan bermata biru yang bernama Rose. Sudah hampir sepuluh
tahun aku tidak bertemu dengan dia.
Rose ialah teman kuliahku di salah satu universitas
tertua di Jerman, tepatnya di Heidelberg[2]. Ia
adalah perempuan Rusia yang memiliki rambut pirang kemerahan. Tentu saja, dia
cantik seperti bule-bule Eropa pada umumnya. Tubuhnya ramping dan seringkali
membuat darahku berdesir ketika berjumpa dengan dia. Namun, yang paling khas
dari dia adalah matanya yang sebiru langit serta bibirnya yang selalu merah
merona.
“Ich mag deine
Augen[3],”
kataku setiap kali bertemu dengan dia. Dia hanya tertawa ketika aku berkata
demikian. Katanya, mata itu tidaklah spesial. Katanya lagi, banyak
perempuan-perempuan Eropa yang memiliki mata yang jauh lebih cantik darinya. Namun
bagiku, mata itu sangatlah cantik dan selalu membuatku betah menatapnya
lama-lama.
Kami berdua kerapkali berdiskusi bersama mengenai
tugas-tugas kuliah di sebuah Kneippe[4]
dekat jantung kota Heidelberg. Ia sangat cerdas dan analisisnya selalu mendalam
sehingga membuatku kelimpungan. Apalagi ketika dia sudah membahas mengenai
teori-teroi Karl Marx tentang tatanan sosial dan kehidupan politik yang
menurutku rumit. Aku sering mengangguk-angguk berlagak mengerti, padahal
kata-kata yang dia ucapkan itu merupakan kata-kata yang rumit nan sulit dan tidak
semua orang mampu mengerti.
“Kau paham penjelasanku?” katanya setelah selesai
bicara sembari menegak segelas bir dari Italia. Rose merupakan peminum berat.
Anehnya, dia tidak pernah mabuk meski sudah minum berkali-kali.
“Aku tak terlalu paham, tapi penjelasanmu memberiku
inspirasi,” kataku sambil terkekeh. Tak lupa, aku menghisap rokokku sebagai
penghangat tubuhku. Berhubung salju yang turun waktu itu agak lebat.
“Kau tidak minum bir?” tanyanya lugas setiap kali kami
bersama. Aku menggeleng.
“Aku takut dosa,” jawabku singkat. Dia pun
menertawakan kepolosanku. Meskipun demikian, dulu aku sempat sekali merasakan
minuman haram itu. Waktu itu, aku menegak satu tegukan miras oplosan bersama
anak-anak kampung karena peenasaran. Pulang-pulang, aku langsung dihajar
bapakku karena ketahuan mabuk. Sejak saat itu aku kapok dan bertobat untuk
tidak minum lagi.
Di samping penganut Marxisme garis lurus, Rose juga
seorang agnostik dan selalu mempertanyakan eksistensi agama. Jauh berbeda
denganku, yang walaupun banyak dosa tapi masih ingat Tuhan. Dia suka berteori
dan mendiskusikan tentang ritus dan segala seluk beluk keagamaaan yang
menurutnya rumit dan tidak logis. Pemikirannya memang gila dan terkadang aku
takjub bahkan sempat terbawa ke dalam dunianya.
Sepulang dari kafe, kami berdua biasanya pulang
bersama dan menaiki kereta bawah tanah terakhir menuju rumah sewa kami yang
lokasinya berdekatan. Rose selalu menawariku untuk menginap di kamarnya, lalu berpose
manja sembari menggodaku. Sejujurnya tawaran itu menarik bagi setiap lelaki,
tapi bagiku itu hanya candaan saja. Mana mungkin aku menghabiskan malam bersama
dia. Sekali lagi, aku takut dosa.
Baca juga: Cerpen - Mawar Mini Merah Muda
***
“Rose, vertraust du auf Liebe[5]?”
kataku penasaran ketika berada di jembatan tua kota Heidelberg saat itu. Ia
terdiam dan menatapku dalam-dalam. Kedua mata kami bertemu seolah ia ingin
menjawab pertanyaan itu hanya dengan tatapan matanya.
“Aku tidak percaya cinta.
Pertanyaanmu sungguh menggelikan,” ia tertawa keras. Aku diam dan larut pada
tawanya. Sejenak aku merenung lalu bertanya lagi.
“Tapi aku sering
melihatmu bersama lelaki lain,”
“Ah, itu hanya untuk
kesenangan saja,” katanya berkilah. Katanya lagi, hubungan itu rumit dan cinta
hanyalah sebuah pemikiran absurd manusia yang dipenuhi imajinasi. Sedangkan
bagi dia, imajinasi adalah pembunuh nalar logis yang membuat manusia lebih
senang hidup di alam mimpi daripada di alam kenyataan.
Kami terdiam sejenak,
lalu mengamati perahu kecil pemancing ikan yang melintas di sungai Neckar. Salju
di jalanan mulai menghilang, pertanda musim semi hendak menyapa kembali. Rose
kemudian membuka pembicaraan lagi, membicarakan kehidupan. Katanya, hidup itu singkat
dan fana, jadi harus dinikmati sebisa mungkin. Meski dia tidak percaya cinta,
dia tidak menyalahkan orang-orang yang memiliki pemikiran bahwa hal-hal abstrak
seperti cinta, malaikat, akhirat dan Tuhan itu ada. Namun, ia memilih
mempercayai entitas konkrit yang bisa dia lihat dengan kedua matanya. Aku
menghormati pemikirannya, seperti dia menghargai pemikiran serta keyakinanku.
“Lalu, mengapa kau
berteman denganku? Lelaki biasa yang mungkin bisa kausebut kuno,” kataku
penasaran.
“Aku suka orang-orang
jujur dan polos sepertimu, apalagi kau ramah dan enak diajak bicara. Tidak
ribet dan banyak argumen seperti kenalanku yang lain,” katanya. Kalau kupikir
ulang, kami seperti kegelapan dan cahaya. Dua hal yang berlainan tapi tidak
dapat dipisahkan, tapi juga tak dapat disatukan.
“Berarti, kau tidak
punya rencana untuk menikah jika kau tidak percaya cinta?”
Ia menggeleng lalu
membuka suara, “Menikah itu merepotkan. Seperti yang sudah pernah kukatakan, aku
tidak suka terikat dengan sebuah hubungan. Menikah itu berarti membunuh kebebasanku
sebagai seorang perempuan.”
Kami pun mengakhiri perbincangan
sederhana itu, kemudian kami berjalan-jalan sebentar di sebuah kastil dengan
gaya gotik khas abad pertengahan. Lalu, kami menelusuri jalanan di jantung kota
Heidelberg serta membeli beberapa roti untuk persediaan makanan yang mulai
menipis.
***
Seperti pepatah bilang, pada setiap pertemuan
selalu ada perpisahan. Aku sudah menyelesaikan studiku dan hendak kembali ke Indonesia.
Ia pun rencananya akan kembali di Rusia dan meniti karir di sana. Rose sendiri
sudah cukup lama tinggal di Jerman dan mendadak ia pun rindu dengan kampung
halamannya. Sebelum berpisah, Rose mengajakku minum bersama di kafe biasa. Ia
ingin menghabiskan detik-detik terakhir kami di kota Heidelberg.
Tidak seperti biasanya,
Rose menawariku segelas wine. Namun
kali ini, tanpa alkohol. Itu adalah
salah satu merk wine terkenal dari
Sachsen, salah satu negara bagian Jerman yang menghasilkan anggur terbaik.
“Tenang, wine ini tidak memabukkan. Kau harus
mencobanya sekali, sebelum pulang ke negaramu,” Rose membujukku sembari
tersenyum. Entahlah, ia terlihat sangat cantik malam itu. Aku pikir, dia adalah
Rose yang berbeda. Penampilannya lebih rapi dan anggun jika dibandingkan dengan
biasanya.
“Kau tidak bohong,
kan?” candaku meledek. Tawanya pecah dan agak mengganggu pelanggan di meja
sebelah kami.
“Tentu tidak. Aku hanya
ingin malam ini menjadi malam yang penuh kenangan sebelum berpisah denganmu,”
Kami menghabiskan malam
itu dengan penuh tawa sembari mengenang masa-masa yang sudah kami lewati. Tak
lupa, kami juga membicarakan profesor galak yang kerapkali mempersulit tugas
akhir kami. Tanpa terasa, perbincangan kami malam itu berlangsung lama hingga
kafe itu hendak tutup. Kami pun beranjak meninggalkan kafe itu dan pulang.
Entahlah, aku merasa
waktu itu waktu seolah berjalan agak lambat dan sunyi pun mampir merangkul kami
berdua. Di tengah perjalanan pulang, Rose tiba-tiba menghentikan langkah
kakinya. Suasana jalanan itu agak sepi dan angin malam berhembus cukup dingin. Kami
persis berdiri bersisian dan hanya ditemani lampu jalan yang pendarnya remang.
Ia tiba-tiba merapatkan tubuhnya ke arahku. Kemudian tanpa ba-bi-bu, ia mencium
bibirku. Aku tidak kuasa menolaknya. Jantungku berdegup kencang dan darahku
berdesir. Sungguh ciuman liar yang baru pertama kali kurasakan.
“Senang mengenalmu. Auf wiedersehen[6]!”
Rose pun akhirnya mengucapkan kalimat perpisahan itu. Sebuah kalimat yang
sejujurnya aku benci. Ia kemudian berlalu begitu cepat. Aku berdiri mematung,
lalu melambaikan tangan ke arahnya.
“Auf wiedersehen!”
Kami benar-benar berpisah.
***
Aku akhirnya pulang ke
Indonesia dan mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan internasional di
Jakarta yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Semenjak itu, aku tidak tahu
kabar tentang Rose. Aku tidak bisa lagi menghubungi dia. Alamat e-mail serta nomor teleponnya sudah
tidak aktif. Namun, gambaran tentang dia masih membekas kuat di kepalaku.
Apalagi ciuman liarnya pada malam itu.
Dan yang paling membuatku penasaran, ada relung kosong
yang ada dalam dadaku. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam
diriku. Satu lagi yang samar dalam ingatanku, aku melihat kedua mata biru itu
menangis malam itu. Sampai sekarang, aku masih ragu, apakah makna dari ciuman
Rose malam itu? Mungkinkah kegelapan itu kini sudah menemukan cahaya?
Cerita ini terinspirasi
dari lagu
Ich hab mein Herz in Heidelberg verloren karya Neubach dkk*
[1] Sepenggal lirik dari lagu “Ich habe
mein Herz verloren” karya Neubach dkk. Secara harfiah lagu ini bermakna aku
kehilangan hatiku di Heidelberg atau bisa juga dimaknai aku mencintai
Heidelberg.
[2] Salah satu kota otonom yang
merupakan bagian dari kota Bayern Wütemberg, negara bagian Jerman.
[3] Aku menyukai kedua matamu
[4] Nama untuk bar dalam bahasa Jerman.
Tempat orang menghabiskan waktu bersama baik untuk bermain atau sekadar
minum-minum.
[5] Apakah kau mempercayai cinta
[6] Sampai jumpa lagi
Mantul gan
ReplyDelete