[Cerpen] Menanti Cinta di Seberang Pulau


source: pxhere.com

Kapal pesiar itu tengah berlayar melewati ombak laut yang tenang menuju negara barat. Orang-orang kerap menyebut kapal pesiar itu sebagai  kapal para bangsawan. Maklum, kapal itu dibuat oleh insinyur terbaik dari Jerman dengan menggunakan mesin paling canggih pada zamannya serta dilengkapi fasilitas terbaik, seperti kamar mewah dan juga restoran berbintang. Di samping itu, penumpang dari kapal ini, mayoritas adalah saudagar-saudagar kaya yang hendak berdagang serta para priyayi dan bangsawan yang hendak merantau ke negara barat untuk sekadar melancong dan mencari hiburan.

Siang ini, kebetulan cuaca cukup cerah. Angin pun berhembus sepoi-sepoi menerpa rambut ikal seorang pemuda yang tengah duduk-duduk santai di dek kapal. Pemuda itu bernama Kuntjoro. Dia sedari tadi melamun menatap sepucuk surat yang masih terbungkus rapi. SuratI itu berasal dari perempuan yang dicintainya, Kinasih. Salah seorang buruh angkut di dermaga Tanjoeng Harapan menghampirinya lalu memberikan surat itu. Katanya, Kinasih tak bisa menemuinya secara langsung. Katanya lagi, surat itu adalah surat terakhir yang dapat dia tulis untuk Kuntjoro.

Pasti surat itu akan terasa sangat menyakitkan, batin Kuntjoro dalam hati.

Didekapnya surat itu kuat-kuat. Seolah-olah, dia tengah memeluk Kinasih yang kini berada nan jauh di seberang pulau sana. Dia masih belum memiliki kekuatan untuk membaca tulisan tangan kekasihnya. Padahal, surat itu adalah obat dari segala lara yang ditikamkan oleh kerinduan-kerinduan yang disimpannya erat. Namun sekeras apapun ia mencoba, keberanian itu tak juga muncul.

Lebih baik aku tidak tahu kenyataan, pikirnya.

Kuntjoro tahu, surat itu tidak akan membuat segala keadaan lebih baik. Surat terakhir yang ditulis oleh Kinasih sudah cukup membuat hatinya ngilu. Surat itu berisi tentang lamaran dari lelaki yang telah dipilihkan bapaknya Pak Subagjo kepada Kinasih. Lelaki pilihan Pak Subagjo adalah anak dari saudagar kaya kenalannya sewaktu masih kuliah di Belanda. Dengan pernikahan itu, tentu akan meningkatkan derajat sosial keluarga Kinasih, apalagi Pak Subagjo adalah salah satu pejabat daerah ternama di wilayahnya.

Pernah pula, Kuntjoro yang melarat itu berhadapan dengan bapak Kinasih yang tegas dan penuh wibawa. Tak perlu berdiskusi panjang lebar, Pak Subagjo langsung menatap sosok Kuntjoro yang kumal dan miskin itu dengan sinis. Katanya, Kuntjoro tidak akan pernah diterima di keluarga mereka. Katanya lagi, hanya para lelaki bermartabat dan punya harta yang boleh menikahi Kinasih.

Ya, masa-masa itu adalah masa yang masih kental dengan aturan perjodohan. Kinasih tak berani menolak lamaran lelaki pilihan bapaknya karena itu akan mencoreng wajah Pak Subagjo. Apalagi, lelaki yang akan melamar Kinasih juga sangat mencintai gadis itu, meskipun hati Kinasih tetap mencintai Kuntjoro.

Pasca penolakan menyakitkan itu, Kuntjoro pun berpamitan dengan Kinasih dan hendak merantau. Ia ingin merubah nasibnya yang awalnya hanya seorang buruh angkut di pelabuhan.

Suatu ketika, terdengar kabar bahwa sebuah kapal pesiar sedang mencari orang yang bersedia menjadi kelasi kapal. Tawaran itu cukup menarik bagi Kuntjoro. Ia pun mendaftarkan diri dan diterima bekerja. Menjadi seorang kelasi kapal bukanlah hal yang buruk bagi Kuntjoro. Gaji yang diterimanya jauh lebih baik dibandingkan pekerjaannya dahulu. Lumayan, ia mendapat beberapa koin Gulden tiap hari dan itu ditabungnya terus setiap hari. Rencananya, ia akan menggunakan tabungan itu untuk berdagang dan sebagai modal untuk melamar Kinasih.

Sayang, nasih tak berpihak pada Kuntjoro. Dua tahun setelah dia bekerja menjadi kelasi, ternyata berbuah kesia-siaan. Kekasih pujaannya yang berada jauh di seberang sana telah dipinang oleh lelaki lain. Ia kalah telak. Barangkali, ia memang tidak bisa berunding takdir yang tega merenggut kebahagiaannya.

Hari-hari terasa menyakitkan. Dia tidak terlalu bersemangat bekerja dan sering menghabiskan malam dengan meminum arak di dalam kabin. Kemudian, ia beranjak menuju dek kapal sembari menikmati angin malam yang dingin menusuk hingga ke persendian tulangnya. Ia luapkan amarah serta kekecewaannya akan nasib. Dia sering teriak ke arah laut seolah laut adalah kawan yang sanggup menampung segala keluh kesahnya. Namun, teriakan itu kemudian membaur dengan deru angin laut yang sengau.

Kesedihan hati Kuntjoro tentu membuat salah satu rekan kerjanya ikut prihatin. Salah satu rekan kerjanya yang merasakan kesedihan hati Kuntjoro adalah Bung Harjo. Pria itu memang sudah tidak lagi muda dan hampir memasuki kepala empat. Namun, dia sangat dihormati oleh para kelasi yang bekerja di kapal ini. Perjalanan hidup Bung Harjo yang penuh romantika membuat para kelasi takjub. Apalagi, Bung Harjo sudah pernah merasakan asam manis kehidupan.

Di kampung halamannya, dia memiliki keluarga kecil, seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Perjuangan untuk menghidupi mereka tidaklah mudah. Keadaan ekonomi yang sulit ditambah kebutuhan hidup yang tinggi membuat Bung Harjo memilih merantau dan bekerja di kapal pesiar itu. Paling tidak, Bung Harjo ingin memberikan masa depan yang terbaik untuk anak-anaknya.

“Kau kenapa lagi, Nak?” tanya Bung Harjo sambil menyesap segelas kopi panas yang baru diseduhnya di dapur kapal.
“Sakit hatiku, Bung. Kekasihku hendak kawin dengan lelaki lain,”
“Usahaku sia-sia, Bung. Apakah nasib memang sekejam ini?”

Kuntjoro agak meninggikan suaranya. Lalu, dia pun menangis sejadi-jadinya sambil meneguk arak dalam botol yang hanya tinggal sedikit.

“Nak, kau masih muda. Janganlah kau terlalu bersedih karena cinta!”
“Bung, hanya dia, gadis yang paling kucintai. Mana mungkin aku bisa mencintai gadis lain?”
“Apakah gadis yang sangat kau cintai ini juga mencintaimu?”

Kuntjoro terdiam sejenak. Dia mengangguk pelan. Tatapan Kuntjoro menyiratkan tegas akan keyakinannya.

“Kalau begitu, kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Kau sekarang sudah seperti pria sekarat yang tidak punya harapan. Kau mabuk-mabukan setiap malam dan berteriak-teriak seperti orang gila. Nak, aku tahu, kehidupanmu saat ini menyakitkan. Namun, semenyakitkan apapun kehidupan, kau harus terus melangkah. Semua akan berbuah manis pada akhirnya,”

Bung Harjo menepuk pundak Kuntjoro dengan niat menyemangati tekad lelaki itu yang tengah meredup. Lalu, ia pun kembali menuju ke kabin dan membiarkan Kuntjoro merenungi nasihatnya dalam-dalam.


Baca juga: Cerpen - Pulanglah! Putrimu Menunggumu
***
Semenjak malam itu, Kuntjoro mulai mengubah kebiasaannya. Nasihat dari Bung Harjo telah direnunginya dalam-dalam. Ia tidak ingin terlalu lama berlarut-larut karena cinta. Biarlah cinta itu ia pendam sendiri di lubuk hatinya yang terdalam. Ia yakin bahwa suatu saat nanti kebahagiaan yang dinanti itu akan datang menghampirinya.

Kuntjoro bekerja lebih giat dari biasanya. Dia ingin menyibukkan dirinya agar kenangan tentang Kinasih tidak terngiang-ngiang kembali. Bukankah rutinitas adalah salah satu cara ampuh untuk membunuh rasa sakit?

Suatu ketika, isu kurang mengenakkan menyeruak ke seluruh awak kapal dan penumpang. Isu mengenai perompak laut ganas tengah ramai diperbincangkan akhir-akhir ini oleh para penumpang. Dalam surat kabar terakhir dijelaskan bahwa salah satu kapal pedagang rempah-rempah telah dijarah dan para awak kapal sebagian tewas pasca melakukan pertempuran di tengah laut. Kapal yang dijarah itu pun berakhir karam di lautan.

Mendengar kabar itu, Kuntjoro sedikit was-was, apalagi banyak penumpang kelas menengah ke atas di kapal pesiar itu. Tentu kapal yang dinaikinya termasuk salah satu target jarahan yang menarik bagi para perompak itu. Namun, kapten kapal telah mengantisipasi hal tersebut dengan cara memperketat pasukan keamanan kapal sekaligus memperbanyak persenjataan. Para kelasi pun juga dilatih beladiri dan menggunakan senjata sebagai langkah preventif apabila sewaktu-waktu kapal dalam keadaan darurat.

Sesuai dengan isu yang beredar, para perompak itu menyamar sebagai nelayan biasa. Aksinya pun cukup terstruktur dan sistematis. Mereka biasanya berpura-pura sebagai nelayan yang kehabisan bahan bakar di tengah samudera dan meminta bantuan kepada kapal yang melintas di dekat mereka. Kemudian, masing-masing anggota perompak itu bertugas sesuai peran masing-masing.

Kapal pesiar yang dinaiki Kuntjoro pun sempat menjadi target para perompak bengis itu. Saat itu, laut tengah berkecamuk dan liar. Kapal pesiar itu tengah terombang-ambing di tengah badai dengan petir yang menggelagar. Bertepatan dengan itu, sebuah kapal misterius tiba-tiba mendekat. Para awak kapal itu sekilas tampak seperti nelayan biasa. Namun, wajah mereka nyatanya sangar-sangar dan tubuh mereka kekar-kekar.

Kapten kapal dengan strateginya yang tak kalah sistematis berhasil menghalau sekaligus melukai salah satu rekan perompak itu. Belum sempat para pelaut itu naik ke dek kapal dan melancarkan aksinya, mereka lebih dulu ditumbangkan oleh pasukan keamanan kapal dengan senapan canggih mereka. 

Kuntjoro saat itu juga turut membantu mengamankan para penumpang dan berjaga di dalam dek kapal dengan persenjataan seadanya. Untungnya, kapal itu selamat dari jarahan perompak bengis itu berkat kesiagaan kapten dan kerja sama seluruh awak kapal yang solid.
***
Tiga tahun telah berlalu pasca kejadian perompak laut itu. Kuntjoro pun telah naik tingkat dari yang awalnya seorang kelasi tingkat terendah menjadi kelasi tingkat dua. Gajinya pun ikut meningkat. Akan tetapi, Kuntjoro merasa bahwa dia ingin berhenti bekerja di kapal. Ia berniat untuk berdagang dan berwirausaha dengan uang yang telah ditabung selama beberapa tahun bekerja di kapal pesiar mewah itu. Lagipula, ada rindu yang kini timbul di hatinya. Rindu akan kampung halamannya yang jauh di seberang sana. Nan rindu pada gadis manis yang kini entah bagaimana kabarnya.

Kuntjoro pun memutuskan bahwa perjalanan ini adalah perjalanan terakhirnya. Pada pemberhentian berikutnya, tepatnya di pelabuhan Tanjoeng Harapan, dia ingin memulai kehidupan baru.

Kuntjoro mengemasi barang-barangnya sebelum pergi meninggalkan kapal. Namun, tiba-tiba fokusnya teralihkan pada sepucuk surat yang tergeletak di laci mejanya. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, surat itu masih terbungkus rapi karena Kuntjoro tidak memiliki keberanian untuk membaca isi dari surat itu. Sepintas, dia jadi teringat masa-masa itu.

Perihal cintanya kepada Kinasih?

Kuntjoro masih belum tahu pasti.

Sejatinya, memang ada yang dirindukannya pada sosok Kinasih yang ayu nan manis senyumannya, tetapi gadis itu telah menjadi milik lelaki lain. Barangkali, mereka juga sudah memiliki buah hati. Hal itulah yang membuat Kuntjoro ragu karena dia tidak ingin merusak kebahagian pun martabat keluarga Kinasih apabila ia menemui gadis itu. Lagipula, apa yang akan orang-orang sekitar katakan jika seorang jejaka menemui gadis yang sudah menikah.

Hah, memikirkan semua itu malah membuat pikiran Kuntjoro kacau. Ia masih tidak tahu, bagaimana nasib akan menuntunnya.
****
Kapal pesiar yang dinaiki Kuntjoro merapat ke sisi dermaga. Para penumpang yang hendak naik dan turun bergantian silih berganti. Suasana dermaga Tanjoeng Harapan begitu ramai. Banyak yang lalu lalang, terutama para buruh yang menaikkan box-box kayu berukuran cukup besar.

Kuntjoro turun dari kapal setelah berpamitan dengan para rekan kerja sekaligus kapten kapal. Ia membawa tas gendong yang agak besar dan berisi pakaian serta sedikit cindera mata yang didapatnya dari beberapa negeri yang pernah dikunjunginya.

Tanjoeng Harapan memang selalu punya kenangan yang tak terlupakan bagi Kuntjoro. Kenangannya bersama Kinasih tempo dulu perlahan hadir dan kembali terngiang di ingatan. Mereka dulu sering bermain ke pelabuhan ini dan menghabiskan waktu bersama. Kuntjoro kembali mengenang kisah asmaranya bersama Kinasih sembari menyusuri dermaga, lalu menuju ke arah pantai.

Tanpa, kedua mata Kuntjoro tertuju pada seorang perempuan berdiri di dekat sebuah pohon nyiur sambil memandang ke arah lautan. Rambut perempuan itu tergerai dan melambai-lambai tertiup angin. Dengan pakaian khas kaum berada dan ditambah pula sebuah selendang adat yang terlilit di pinggangnya, perempuan itu terlihat tidak asing lagi di mata Kuntjoro.

Dadanya begitu deg-degan. Dia menjadi ragu dengan dirinya sendiri. Apalagi dia baru saja mendengar kasak-kusuk masyarakat di sekitar pelabuhan bahwa ada seorang janda kembang yang setiap seminggu sekali berdiri di bibir pantai dan memandang lautan. Meski simpang siur, katanya perempuan itu adalah perempuan yang kehilangan harapan karena suaminya meninggal karena sebuah tragedi di lautan.

Kuntjoro mencoba menguatkan tenaga dan mendekati sosok perempuan itu. Langkahnya pun terhenti dalam jarak beberapa meter saja. Kedua mata mereka bertemu dan waktu pun menjadi beku. Rindu yang selama ini tertahan kini telah terungkapkan.

“Kamu, apa kabar?” kata Kuntjoro setengah terbata-bata.
“Aku baik-baik saja, Mas,” jawab Kinasih lembut dengan mata yang berkaca-kaca. Tak lama kemudian, tangis perempuan itu pecah dan dia pun memeluk Kuntjoro untuk melepaskan segala kerinduan serta lara yang selama ini dipendamnya.
“Sudah sangat lama aku tidak mendapatkan suratmu, Mas. Aku pikir kau telah melupakanku,”
“Aku kira, kau yang telah melupakanku. Mendengar kabar perkawinanmu dengan lelaki pilihan bapakmu sudah cukup untuk menghancurkan keyakinanku, Dik,”
“Apa kau tidak membaca suratku, Mas?
“Untuk apa aku membaca suratmu jika tulisanmu itu malah membuat hatiku hancur, Dik?”

Kinasih perlahan melepaskan pelukannya lalu bercerita tentang pernikahan itu. Memang, meskipun dia menikah dengan lelaki lain, cinta Kinasih tetap untuk Kuntjoro. Dia menyampaikan segalanya melalui surat itu, tentang kesetiaan yang tetap dipegangnya teguh.

Mendengar pengakuan Kinasih, awalnya Kuntjoro tidak percaya. Kemudian, ia pun mengambil sepucuk surat yang masih terbungkus rapi itu untuk membuktikan kata-kata Kinasih. Dia menyobek amplop surat itu perlahan dan membacanya dengan khidmat. Lembaran surat itu terlihat agak lusuh dengan tinta hitam yang agak memudar.

Sejenak, Kuntjoro tahu bahwa Kinasih menulis surat itu dengan air mata. Air mata yang menjadi isyarat kesedihan bahwa dia tidak bisa menolak lamaran lelaki pilihan bapaknya, sekaligus isyarat bahwa dia tidak akan lagi bisa menemui Kuntjoro. Namun, apapun yang terjadi, Kinasih akan tetap mencintai Kuntjoro.

Seusai membaca surat itu, air mata Kuntjoro menetes membasahi pipinya.
“Lalu, dimana suamimu sekarang?”
“Dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku yakin, kamu sudah sendiri sudah tahu mengenai insiden perompakan kapal tempo lalu,”

Tiba-tiba, Kuntjoro jadi teringat koran yang sempat dibacanya pada saat isu perompakan itu muncul. Ternyata, suami Kinasih adalah salah satu awak kapal yang menjadi korban perampokan. Pasca kematian suaminya, Kinasih memutuskan untuk tidak menikah lagi dan memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang janda. Ia pun sering berdiri di tepi pantai Tanjoeng Harapan dengan harapan bahwa suatu ketika Kuntjoro akan datang menemuinya. Atau paling tidak, ada kabar dari seseorang yang membawa sebuah berita tentang Kuntjoro.

Pada akhirnya, penantian itu berbuah manis, meskipun tahun demi tahun telah berlalu.  Dengan menggenggap segenap keyakinan, harapan, dan juga cinta, Kinasih berhasil melewati semua itu. Barangkali, keteguhan hati Kuntjoro juga yang membuat mereka berdua kini bisa bertemu dan bersatu kembali, meski dulu sempat tertunda karena takdir belum mengizinkan.

Mereka pun kembali berpelukan, lalu mengikrarkan janji sekali lagi sebagai sepasang kekasih.

0 Response to "[Cerpen] Menanti Cinta di Seberang Pulau"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel