[Cerpen] Pria yang Menangisi Semangkuk Mie Instan
source: youthmanual.com
Suatu waktu, dia tiba-tiba menghampiri saya yang
tengah asik duduk di warung Mas Jon sambil fokus menatap laptop saya. Sebut
saja namanya Broto. Suasana warung itu masih sangat sepi dan saya hanya
sendirian di sana. Tiba-tiba, dia berkata ke arah saya dengan nada yang
menyentak.
“MAS!” teriaknya. Saya kaget dan setengah takut.
Bagaimana tidak? Broto ini merupakan pria setengah baya, agak brewokan dengan
topi kupluk dan juga jaket yang agak lusuh. Kesan pertama waktu melihat dia,
pasti ada yang tidak beres pada orang itu, pikir saya.
“Iya, mas. Enten
nopo?” jawab saya sopan dan agak basa-basi – setengah takut juga aslinya.
“Perempuan itu adalah makhluk yang membuat kerusakan
di muka bumi ini. Bayangkan, Mas!” katanya menggelegar.
Dalam hati, saya hanya menyebut istighfar karena
langsung shock dengan kalimat pembuka
itu. Tidak banyak kata yang bisa saya ucapkan, malah saya cengar-cengir karena
kebingungan. Tanpa ba-bi-bu, Broto malah melanjutkan orasinya. Dari tutur dan
gaya bicaranya, ia terlihat seperti orang yang jenius. Tidak mungkin orang awam
dapat mengucapkan kata-kata tingkat tinggi apalagi diiringi dengan sabda-sabda
nabi tentang kaum hawa.
Broto terus bercerita tanpa henti hingga membuat saya
kurang nyaman. Untungnya, istri mas Jon datang menghampiri saya dan memberi
isyarat kepada saya dengan jari miring yang ditempelkan ke dahinya. Saya
langsung mafhum dengan isyarat itu. Dalam hati saya berkata, woh wong edan rupane.
Tak lama kemudian, Broto pun mengakhiri orasi
singkatnya yang lumayan ngalor ngidul. Dia pun beranjak dari tempatnya dan
menawari saya untuk makan mie instan,
“Ayo, mas. Saya yang bayar deh!” ajaknya kepada saya.
“Monggo, Mas. Saya belum lapar,” jawab saya halus.
Dia pun akhirnya pergi. Perasaan saya langsung lega.
Selang beberapa waktu, istri Mas Jon tadi menghampiri saya dan memperingati
saya secara halus.
“Mas, lain kali kalau dia ngajak ngobrol dengan
sampeyan nggak usah ditanggepin. Dia kurang beres orangnya,”
Saya hanya tersenyum mengiyakan sambil mengangguk.
Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut pun saya sudah paham kalau ada yang tidak
beres dengan Broto.
Meskipun hanya singkat, pagi itu terasa begitu berkenan
bagi saya. Kata-kata Broto tentang perempuan yang suka berbuat kerusakan itu
cukup membekas di ingatan saya. Ya, ada benarnya kata-kata itu, meski di satu
sisi terkesan ngawur.
*****
Di lain waktu – tepatnya di suatu malam, saya masih suka nimbrung di warung
Mas Jon. Saya waktu itu tengah memesan secangkir kopi dan tetap sibuk dengan
laptop saya. Tiba-tiba, Broto datang lagi dan langsung duduk di hadapan saya.
“Malem, Mas!” ujarnya cengar-cengir seperti biasa. Saya
pun menyahut sapaan itu dengan ala kadarnya.
Kemudian, ia menaruh sebungkus plastik ke atas meja
dan menawarkannya ke saya.
“Gorengan, Mas!”
Dengan sopan, saya menolak tawaran itu. Jujur saja,
saya takut kalau nanti kenapa-kenapa. Maklum, saya belum terlalu kenal dengan
sosok Broto ini.
“Oh iya, Mas. Saya boleh minta bantuan?” tanyanya.
Sontak, saya deg-degan. Mau nolak sungkan, tapi kalau saya terima ya agak
gimana gitu. Alhasil, saya bersedia memberikan bantuan meskipun dalam hati saya
agak keberatan.
“Bantuan apa ya, Mas?”
“Tolong ketikkan foto Joshua di Google,”
Saya pun langsung mengetikkan Joshua di mesin search engine. Lagipula, saya takut
Broto ngamuk kalau saya tidak gercep.
“Dia dulu penyanyi cilik yang terkenal ya, Mas. Haha…
hehe,” sahutnya sambil terkekeh-kekeh tidak jelas. Perasaan saya langsung nggak
enak dan pengen segera cabut dari warung Mas Jon. Saya pun segera memainkan
sandiwara bahwa laptop saya sinyalnya buruk dan agak error.
Saya kurang terlalu yakin, apakah tipuan sederhana itu
dapat mengecoh Broto atau tidak. Namun, Broto spontan beranjak dari tempat
duduknya.
“Lho, sampean mau kemana, Mas?” tanya saya yang
penasaran.
“Saya ada urusan, Mas. Monggo sampen teruskan
aktivitas sampean!” jawabnya singkat sambil mengemasi barangnya. Sebelum pergi,
Broto menghampiri Mas Jon sebentar. Sepertinya, dia mau bayar utang.
Setelah ia sempurna menghilang dari warung itu, saya
mengajak bicara Mas Jon untuk menghilangkan rasa penasaran saya.
“Mas, dia itu sering datang ke warung sampean ya?”
“Iyo, Mas. Kadang ya dia tidur di sini kalau malem.
Besoknya dia pulang ke desanya jalan kaki,”
“Oh gitu, Mas.”
“Iya, Mas. Orang itu lulusan S2 lho, Mas. Bukan main,”
kata Mas Jon mantap. Langsung, hati saya tersentak ketika mendengar orang yang
saya anggap edan itu pernah sekolah tinggi.
“Lah, tapi kok gitu, Mas?” tanya saya lagi.
“Wah, aku ya gak terlalu paham. Denger-denger, dia ini
stress karena istrinya selingkuh dengan orang dan anaknya juga dibawa sama
istrinya. Tapi anu lho, Mas, meskipun dia kayak gitu, tapi dia gak pernah ngamuk
ke orang-orang. Coba sampean ajak diskusi kenegaraan, ya dia pasti ngerti, Mas.”
Saya diam sejenak dan masih menyimak kata-kata Mas
Jon.
“Aku kadang juga kasihan sama dia, Mas. Kalau dia
pesen mie di warung saya, dia pasti nangis, Mas.”
“Lho, kenapa kok nangis, Mas?”
“Dia kangen anak istrinya, Mas. Kangen makan bersama,”
Entah mengapa, saya merasa tersentuh dengan kisah
hidup Broto. Awalnya memang saya agak risih, tetapi setelah mendengar cerita
menyedihkan itu, saya sedikit merubah pandangan saya tentang sosok Broto.
Setelah malam itu, saya tidak pernah lagi bertemu
dengan Broto. Saya juga tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Yang jelas, saya
tahu bahwa pria yang menangisi semangkuk mie instan itu adalah pria yang setia
dan sangat menyayangi istri dan anaknya.
0 Response to "[Cerpen] Pria yang Menangisi Semangkuk Mie Instan"
Post a Comment