[Cerpen] Serbuk Kopi dan Angsa yang Patah Hati
source: medium.com
Sejak
dari rumah, lelaki itu terlihat risau mengendarai mobilnya. Kerisauannya
semakin tak karuan ketika dia memasuki gerbang masuk desa yang cukup terpencil
itu. Dia ingin segera menemui bapaknya yang tinggal di desa tersebut.
Setelah hampir dua jam
mengemudi, ia akhirnya sampai ke rumah bapaknya yang terlihat masih sangat
tradisional dengan tiang-tiang kayu yang masih tampak kokoh. Sekilas, terlihat
kilatan bekas pelitur yang berwarna coklat kehitaman. Di samping kanan rumah
itu, tampak sebuah danau kecil yang bersih dengan pepohonan rindang di
sekitarnya.
Lelaki
itu mengetuk pintu rumah bapaknya agak kencang. Ia memang sangat terburu-buru
kali ini. Pikirannya kacau memikirkan rumah tangganya yang kini berada di
ambang kehancuran. Ia merasa sudah tidak mencintai istrinya. Terlalu banyak
ketidakcocokan serta percecokan yang hampir setiap hari meramaikan rumah dan
seisinya, bak orkestra malam minggu yang pentas di sebuah opera.
Mendengar
pintu rumahnya digedor cukup keras, bapaknya segera beranjak dari posisi
nyamannya yang tengah membaca koran sambil menikmati secangkir kopi di siang
hari. Ia kemudian membukakan pintu untuk lelaki tersebut. Pria tua itu tahu
maksud kedatangan anaknya karena ia telah berkunjung berkali-kali dalam satu
bulan ini.
Sembari
berkeluh kesah, pria tua itu mempersilahkan anaknya untuk duduk sebentar. Ia
lalu pergi ke dapur dan menyeduh secangkir kopi tanpa gula untuk anaknya.
“Apakah
keputusanmu untuk menceraikannya belum berubah?” tanya pria tua itu setelah
menyuguhkan kopi pahit kepada anaknya.
“Tetap.
Aku masih benci dengan dia. Rasa-rasanya, rumah seperti neraka. Aku sudah tidak
tahan lagi dengan semua sandiwara ini,”
“Tenangkanlah
pikiranmu dulu. Mungkin itu hanyalah prasangka burukmu. Kau hanya menilai
istrimu dari satu sisi,”
“Tidak,
Pak. Saya melihat bukti-bukti itu dengan jelas. Dia telah berselingkuh dengan
lelaki lain,”
Pria tua
itu menghela nafas sebentar sebelum membuka suara. “Minum
dululah kopi ini sebelum dingin!”
Lelaki
itu menuruti perintah bapaknya. Dia menyeruput kopi itu pelan-pelan. Sejujurnya,
pahit kopi itu terasa sangat menusuk di lidahnya. Wajahnya mendadak masam dan
agak kesal menatap bapaknya. Rasa kopi itu tidak seperti biasanya yang manis
dengan campuran pahit yang agak samar.
“Apa
yang ingin Bapak sampaikan melalui kopi pahit ini? Bapak sudah tahu kan kalau
aku dari dulu tidak suka kopi pahit,” tanya lelaki itu dengan nada yang agak
tinggi.
“Kau
hanya melihat apa yang ada di depanmu. Namun, kau tidak berpikir lebih jauh.
Bukalah kacamatamu dan renungkanlah! Kehidupan itu tidak selamanya manis.
Adakalanya hidup itu pahit seperti kopi yang baru saja kamu minum,”
Lelaki
itu semakin tidak mengerti. Bukannya mendapat jawaban, lelaki itu malah bingung
sebingung-bingungnya.
“Pulanglah,
kau perlu menenangkan diri. Redakanlah amarahmu terlebih dahulu, lalu
pandanglah istrimu dengan cara yang baik-baik!”
Lelaki
itu hanya diam dan merenungkan kata-kata bapaknya seolah kata-kata itu memiliki
daya magis yang mampu membuat lelaki itu takluk.
Sebelum pulang, bapaknya
menitipkan sebuah serbuk kopi hitam seperti biasa. Namun, serbuk kopi kali berasal
dari biji khusus yang tumbuh di perkebunan milik keluarga mereka yang terletak
di sebuah daerah yang agak jauh dari desa itu.
Tak hanya itu, dia juga
menitipkan selembar foto usang yang sudah hampir pudar kepada anaknya. Meskipun
demikian, lelaki itu masih bisa melihat gambar yang terpotret dalam foto
tersebut dengan jelas.
“Mintalah
istrimu untuk menyeduh serbuk kopi itu setiap sore. Kemudian, pandanglah foto
itu sambil merenungkan segala keraguan yang kau rasakan saat ini!”
Kata-kata
itu sempurna mengakhiri pertemuan anak dan bapak sore ini. Lelaki itu pulang
dengan minus jawaban. Tanda tanya itu menggantung, tetapi perlahan kepalanya
mulai dingin. Ia mencoba merenungkan
kembali asal muasal dari permasalahan ini. Barangkali, dia memang salah menilai
istrinya selama ini.
Baca juga: Cerpen - Takkan Terulang
*****
Senja
kali ini terasa begitu berbeda. Terasa hening dan tenang. Lelaki itu duduk di
teras rumah sembari memikirkan akar permasalahan rumah tangganya. Beberapa
waktu yang lalu, salah satu rekan kerjanya menunjukkan foto istrinya bersama
lelaki lain yang tengah memasuki salah satu hotel yang cukup terkenal. Tanpa
memikirkannya lebih dalam, ia langsung dikuasai cemburu dan langsung menuduh
bahwa istrinya berselingkuh. Terlebih dia jarang di rumah dan sering pulang
larut malam.
Keadaan
itu diperpanas oleh salah satu teman kerjanya yang juga menyarankan agar ia
menceraikan istrinya. Lagipula, dia itu lelaki yang cukup berada dengan jabatan
yang sangat bagus. Banyak perempuan di tempat kerjanya yang bersedia menjadi
istrinya. Sejujurnya, tawaran itu cukup menggiurkan bagi dia. Namun, dia
teringat pesan bapaknya agar tidak tergiur godaan-godaan sesaat yang sekilas
terlihat menarik. Jika tidak, akan timbul penyesalan di kemudian hari nanti.
Di
sela-sela lamunannya, istrinya datang membawakan secangkir kopi yang
dimintanya. Melihat wajah istrinya yang sudah mulai menua dan memang tidak
secantik dulu, rasa cemburu dan amarah yang ia pendam selama ini mendadak sirna
dan berganti sendu.
“Silahkan
diminum kopinya, Mas!” ujar sang istri dengan lembut sambil tersenyum kecil
agak kikuk. Ia pun lekas kembali ke dapur dan membiarkan suaminya kembali
termenung di teras sembari menikmati alam yang mulai beranjak petang.
Lelaki
itu perlahan menyeruput kopi itu pelan-pelan. Deg, jantungnya terasa terhenti.
Dia begitu heran karena rasa
kopi yang dia minum saat ini terasa sangat berbeda. Racikan kopi itu sungguh
pas. Tidak terlalu pahit dan juga tidak terlalu manis. Ia jadi terlempar lagi
ke masa lalu ketika almarhum ibunya masih hidup. Kopi yang dia minum saat ini
sangat mirip dengan rasa kopi yang dibuat oleh almarhum ibunya, meskipun tidak
benar-benar sama persis.
Bagaimana mungkin? batin lelaki itu.
Diseruputnya
kembali kopi itu pelan-pelan. Tanpa sengaja kedua matanya sedikit basah. Ia
mendadak rindu akan almarhum ibunya yang telah berpulang bertahun-tahun yang
lalu. Dia teringat kembali kasih sayang ibunya melalui kopi yang dibuat oleh
istrinya. Lalu, ia mengambil foto usang yang diberikan oleh bapaknya kemarin. Ia
pandangi foto itu lamat-lamat, sebuah foto pernikahan dengan istrinya yang
diambil sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Air
mata lelaki itu sempurna menetes ketika mengenang kembali alasan ia menikahi
perempuan yang kini menjadi istrinya. Sepuluh tahun sudah ia melewati pahit
manisnya kehidupan berumah tangga bersama istrinya. Suka duka telah mereka
hadapi bersama hingga akhirnya mereka memiliki dua anak yang menjadi buah manis
dari pernikahan mereka.
Lelaki
itu perlahan beranjak dari tempat duduknya dan segera menuju ke tempat istrinya
yang tengah bermain dengan anak-anak mereka di ruang keluarga. Ia kemudian
memanggil istrinya dan mengajaknya berbicara sebentar di dalam kamar.
“Aku
minta maaf karena telah bersikap buruk kepadamu selama ini,” kata lelaki itu
penuh penyesalan.
“Aku sudah
memaafkanmu dari dulu, Mas,” jawab sang istri tanpa ragu.
Spontan,
lelaki itu memeluk istrinya dengan hangat dan ia baru sadar bahwa selama ini
istrinya sangat mencintainya. Dia juga tahu bahwa selama ini yang terjadi di
antara merea hanyalah kesalahpahaman. Rekan kerjanya memang sengaja
memprovokasi dia untuk bercerai dengan istrinya.
****
Pada
akhir pekan, ia bersama istri dan anak-anaknya pergi ke desa mengunjungi
bapaknya. Ia ingin berterimakasih kepada bapaknya karena telah membantunya
menemukan jalan keluar atas pertengkarannya selama ini. Pria tua itu sangat
senang sekali bertemu dengan kedua cucunya.
Sementara
anak-anak bermain di dalam rumah beserta istrinya, lelaki itu mengajak bapaknya
berbicara empat mata. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan. Mereka pun duduk
bercakap-cakap di atas sebuah potongan kayu tua di dekat danau.
“Kau
mungkin heran tentang biji kopi itu. Itu adalah biji kopi kesukaan ibumu. Aku
tahu, sifat keras kepalamu hanya bisa ditaklukkan oleh kasih sayang ibumu.
Sejak dari dulu, Bapak hanya bisa memberimu nasihat-nasihat dan peran bapak
tidak bisa menggantikan peran ibu yang sangat berarti bagimu,” pria tua itu bercerita
dengan nada yang tegas.
“Namun,
bagaimana rasa kopi itu bisa sama dengan rasa kopi buatan istriku?” tanya
lelaki itu penasaran.
Pria
tua itu terkekeh sebelum menjawab rasa penasaran anaknya.
“Bisa
bapak katakan, istrimu membuat kopi itu penuh cinta dengan harapan kau bisa
luluh dan merubah pikiranmu terhadap dia. Kopi itu hanyalah perantara. Kau
mungkin rindu dengan nasihat-nasihat ibumu dan secara tidak langsung kau
memahami hal itu hanya dengan meminum kopi yang sama dengan kopi yang dibuat
ibumu dulu,”
Meski
penjelasan itu terasa membingungkan, paling tidak lelaki itu dapat mengambil
inti dari pembicaraan yang bermakna itu. Belum sempat keheranan itu hilang,
pria tua itu malah memberi sebuah buku catatan yang terlihat dipenuhi debu
kepada anaknya yang semakin membuat penasaran.
“Ini
apa?”
“Buku
itu adalah catatan harian ibumu dan juga berisi tulisan bapak. Dulu, ibumu suka
menulis catatan harian. Setelah ibumu meninggal, bapak yang mengisi buku itu
untuk melepas kerinduan bapak. Kau lihat angsa yang berenang sendirian di tepi
sana?” tanya pria tua itu sambil menunjuk ke arah seekor angsa.
“Memangnya,
ada apa dengan angsa itu?”
“Beberapa
hari yang lalu, angsa itu kehilangan pasangannya. Angsa adalah salah satu hewan
yang paling setia di dunia ini. Ketika pasangannya meninggal, dia akan patah
hati seumur hidupnya dan tidak dapat jatuh cinta dengan angsa lain. Angsa itu
seperti bapak dulu ketika ditinggal ibumu,”
“Jadi
itu alasan bapak tidak menikah lagi?” tanya lelaki itu kepada bapaknya. Pria
tua itu mengangguk pelan lalu melanjutkan kata-katanya.
“Kau
benar. Meskipun bapak menikah lagi, tetap saja tidak akan ada yang dapat
menggantikan posisi ibumu di hati bapak. Oleh sebab itu, bapak memilih
membesarkan kamu hingga sukses seorang diri.
Ketika bapak mendengar kabar bahwa kamu ingin menceraikan istrimu, bapak
langsung menahanmu karena bapak tidak ingin kamu menyesal,”
“Dulu,
bapak juga sering bertengkar dengan ibumu. Hingga pada akhirnya, bapak sampai
pada suatu titik yang membuat bapak ingin menceraikan ibumu. Namun, bapak
mengurungkan niat itu karena kamu waktu itu masih sangat kecil,”
Lelaki
itu terdiam. Spontan, ia menatap anak-anaknya yang masih bercanda ria dengan
istrinya di depan teras.
“Coba
kamu baca buku harian itu!” pinta bapaknya.
Tanpa
ba-bi-bu, lelaki itu membaca pelan-pelan lembar demi lembar buku usang
tersebut. Di situ, tertera tulisan tangan ibunya yang berjajar rapi dan ditulis
dengan huruf latin. Tulisan itu bercerita tentang keresahan hatinya menghadapi
bapak yang keras dan juga alasan-alasan yang membuat ibu tetap mempertahankan
rumah tangganya dengan bapak.
“Buku
harian itu juga yang membuat bapak berubah pikiran. Dulu, bapak tidak sengaja
menemukan buku itu ketika sedang mencari berkas di laci kamar. Kebetulan, ibu
waktu itu sedang pergi ke pasar. Buku harian itu perlahan menyadarkan kesalahan
bapak selama ini. Ibumu adalah perempuan yang sabar dan tegar,”
Sambil
mendengarkan cerita bapaknya, lelaki itu terus membaca lembar demi lembar buku
harian itu. Hingga ia sampai pada sebuah kalimat yang sangat bermakna baginya.
‘Kang mas itu sejujurnya sangat
baik. Saya mengerti hal itu. Namun, dia sangat keras kepala. Itu yang kadang
membuat saya jengkel. Tetapi, saya tetap berpegang teguh pada nasihat ibu saya
tentang kesetiaan seekor angsa terhadap pasangannya. Alasan itulah yang membuat
saya bertahan. Saya sudah mengikrarkan janji dengan kang mas, jadi saya akan
tetap mempertahankan janji itu apapun keadaannya,’
Mendadak,
suasana danau itu hening. Anak dan bapak itu saling berpandangan sejenak lalu
menatap angsa-angsa yang berenang di tengah danau.
“Kata-kata
itulah yang saat ini terus terngiang di kepala bapak. Ibumu benar. Setelah dia
meninggal karena sakit keras, bapak seperti linglung dan merasakan kehilangan
yang sangat dalam. Bapak baru sadar bahwa bapak sangat mencintai ibumu ketika
dia sudah tiada. Bapak seperti angsa yang kamu lihat tadi, yang sendiri dan
patah hati. Sampai sekarang pun, bapak suka sedih kalau mengenang ibumu,” suara
pria tua itu bergetar. Kedua matanya agak sembab karena air mata.
Lelaki
itu menawarkan tisu dari saku kemejanya kepada bapaknya.
“Terima
kasih banyak, Pak. Aku baru sadar selama ini aku memang keras kepala. Jika
kemarin aku bersikukuh menceraikan istriku, mungkin saat ini aku sangat
menyesal. Lagipula, aku juga tidak bisa membayangkan nasib anak-anak jika
melihat orang tua mereka berpisah,”
Perbincangan
itu pun sempurna berakhir ketika kedua anak kecil yang masih belia berlarian
menghampiri mereka berdua. Lelaki itu pun mengajak anak-anaknya untuk memberi
makan angsa-angsa yang ada di danau tersebut. Sementara itu, bapaknya pergi
menuju teras rumah untuk menyeduh kopi sebentar.
Di
depan teras rumah itu, menantunya ternyata sudah membuatkan dua cangkir kopi
untuk mertua dan suaminya.
“Terima
kasih banyak atas bantuan Bapak. Hubungan saya dengan si Mas sudah hangat
kembali,” ujar menantunya ramah. Pria itu terkekeh sebentar lalu kembali
membuka suara.
“Hehe,
bapak juga senang melihat kalian bersama kembali. Ngomong-ngomong, resep kopi
yang bapak katakan beberapa waktu yang lalu manjur kan?”
Si
menantu hanya tersenyum sambil mengangguk.
Tanpa sepengetahuan
suaminya, dia juga sering berkunjung ke rumah mertuanya untuk meminta solusi
atas keretakan hubungan rumah tangga mereka. Pria itu kerap memberikan saran
yang terbaik, meskipun itu tidak membuahkan hasil.
Sampai akhirnya, dia memberi
tahu resep kopi yang sering dibuat almarhum istrinya. Pria tua itu paling tahu
bahwa kekeraskepalaan anaknya hanya bisa diluluhkan dengan kopi buatan ibunya.
Dia juga yang meminta menantunya untuk membawakan foto usang pernikahan mereka
berdua. Pria tua itu yakin, hanya dua cara itulah yang dapat menyelesaikan
pertengkaran mereka.
Pria itupun kembali duduk
sambil menikmati kopi buatan menantunya yang masih hangat. Lalu, ia menatap ke
arah anak lelaki beserta keluarga kecilnya yang tengah asik bermain di dekat
danau.
“Ah, mereka mengingatkanku
kepada keluarga kecil kita dulu…” gumam pria tua itu sembari memandang foto
almarhum istrinya yang selalu dia bawa di saku kemejanya.
Baca juga: Doa dan Harapan Seorang Ibu yang Berjuang Melawan Kanker
0 Response to "[Cerpen] Serbuk Kopi dan Angsa yang Patah Hati"
Post a Comment