[Cerpen] Pulanglah! Putrimu Menunggumu


pic from kaskus.co.id

Penjaga toko kue itu hendak menutup tokonya berhubung hari sudah memasuki tengah malam dan tak ada pelanggan lagi yang hendak mampir ke tokonya. Apalagi, suhu udara malam ini sangat dingin berhubung sedari sore cuaca terlihat mendung menandakan hujan.

Beberapa menit sebelum pintu toko itu ditutup, tiba-tiba seorang pria paruh baya dengan pakaian yang agak lusuh berjalan mendekat. Penjaga toko kue itu setengah takut. Ia mengira bahwa pria paruh baya itu seorang preman yang berkedok peminta-minta.

“Mohon maaf, tokonya mau saya tutup,” ujar penjaga toko kue tersebut dengan nada enggan – terkesan menolak kedatangan pria tersebut. Jika dilihat-lihat dari dekat, ia sepertinya mengenal sosok pria paruh baya tersebut.

Pelan namun pasti, pria paruh baya itu membuka suaranya.

“Putri saya hari ini ulang tahun, Mas. Kalau kuenya masih ada, saya mau beli satu untuk putri saya,” ucap pria paruh baya itu sembari menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima ribuan yang terlihat agak lecek.

Penjaga toko kue itu mendengus pelan. Di satu sisi, ia malas, tetapi di sisi yang lain, ia juga iba ketika melihat sorot mata pria paruh baya tersebut. Wajahnya memang tampak lesu, tetapi sorot mata itu bersinar penuh semangat. Barangkali, hari ini memang hari yang sangat penting bagi dia karena itu menyangkut kebahgiaan putrinya.

Perlahan, penjaga toko kue itu melangkah ke arah tempat penyimpanan kue. Ia mengambil kue yang berukuran sedang. Kebetulan, stock kue tersebut tinggal satu. Meskipun itu bukan kue ulang tahun, paling tidak kue itu bisa diberikan untuk putri pria tersebut. kotak kue yang sudah terbungkus rapi beserta beberapa lilin kecil yang terlihat warna-

“Ini, Mas. Ini kue terakhir yang tersedia hari ini. Ini juga ada lilin untuk ulang tahun. Nanti bisa mas taruh di atas kue ini,” ujar penjaga toko kue itu sambil menyerahkan warni.

“Terima kasih banyak ya, Mas,” pria paruh baya itu terlihat sangat bahagia ketika mengucapkan ungkapan terima kasih itu.

Meski segan, penjaga kue itu terpaksa menerima uang dari pria tersebut, meskipun uang yang dibawa pria itu tidak cukup untuk membeli kue tersebut. Namun, penjaga toko kue itu tidak mempermasalahkan hal tersebut. Paling tidak, ia bisa membuat tersenyum orang lain dengan bantuan kecilnya. Toh, tidak ada ruginya membantu kebahagiaan orang lain.

Setelah diingat-ingat, penjaga toko kue itu baru sadar bahwa pria paruh baya yang tadi ke tokonya ialah seorang buruh angkut beras di salah satu pengepul beras di dekat tokonya. Sepertinya, pria paruh baya itu baru lembur malam ini.

***

Joko pulang ke rumah dengan tubuh yang sudah sangat kelelahan. Bekerja seharian mengangkut karung beras di gudang sangat menguras tenaganya, apalagi hari ini dia menambah jam kerjanya karena ia butuh tambahan penghasilan.

Bajunya terlihat basah. Maklum, dia bersepeda di bawah hujan deras yang mendadak turun di sepanjang perjalanan pulang. Ia lupa membawa jas hujan karena ia sendiri tidak mengira bahwa hujan akan turun malam ini.

Joko melepas bajunya yang basah dan mengeringkan kedua tangannya dengan kain lusuh yang tergantung di depan rumahnya. Kemudian, ia menghidupkan lampu ruang tamu dan menaruh kotak kue yang sudah dipesannya tadi ke atas meja kayu di dekat kursi kayu yang lumayan tua. Perlahan, ia mengintip dari pintu kamarnya. Putrinya tengah tertidur pulas bersama neneknya.

Hari ini, putrinya tepat berusia enam tahun.

Joko tersenyum sendiri ketika membayangkan ekspresi bahagia putrinya saat ia nanti memberikan kue ulang tahun tersebut. Ia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengganti bajunya.

Dengan hati-hati, Joko mempersiapkan kue yang tadi dipesannya dan menata lilin-lilin mungil itu dengan rapi. Ia menyalakan lilin-lilin tersebut dan berjalan pelan ke arah putrinya.

Lalu, ia berbisik pelan di dekat telinga putrinya.

“Tania,” bisiknya. Ia berulang kali memanggil nama putri kesayangannya hingga gadis mungil yang tertidur pulas perlahan sayup-sayup membuka mata.

Betapa terkejutnya ia ketika mendapati ayahnya yang baru saja pulang sembari membawa sebuah kue ulang tahun.

“Selamat ulang tahun, Sayang,”
“Yeee, makasih, Ayah,”
“Tiup lilinnya…tiup lilinnya…tiup lilinnya sekarang juga…sekarang juga..”

Gadis mungil itu meniup lilin itu dengan kencang sembari bertepuk tangan ria.

“Semoga kamu tumbuh menjadi anak yang pintar dan sholihah, ya,” ucap Joko sembari mengelus-elus rambut putrinya. Putrinya hanya tersenyum sejenak. Kemudian, ia memasang wajah yang murung.

“Ayah, ibu hari ini tidak pulang lagi? Aku pengen tahu siapa ibuku,” tanya gadis mungil itu dengan wajah polos.

Joko terdiam sejenak. Mengulum senyum kepahitan. Dari sekian banyak pertanyaan, hanya pertanyaan itulah yang sangat sulit dia jawab. Ia kembali membayangkan cerita pahit dengan mantan istrinya yang sudah berpisah lima tahun yang lalu ketika putrinya masih balita.

Joko menguatkan diri. Ia lalu tersenyum di depan putrinya.

“Tenang, Sayang. Ayah janji, kamu akan segera bertemu dengan ibumu,”
“Ayah janji ya?”
“Ayah janji. Sekarang kamu tidur ya, Sayang,”

Putrinya sangat bahagia dan tidak sabar untuk segera bertemu dengan ibunya. Ia pun terlelap dalam tidur dan mimpi indahnya. Sementara itu, Joko hanya diam di depan teras rumah sambil menyesap kopi yang sebentar lagi tandas. Demi Tania, ia harus bertemu lagi dengan mantan istrinya.

***            
Setiap kali Tania hendak ulang tahun, Joko selalu menelpon istrinya yang tinggal di luar kota. Mantan istrinya kini telah menikah dengan pria yang memiliki penghidupan lebih baik dari dia.
            
“Pulanglah, putrimu menunggumu!” ucap Joko berulang kali ketika Tania hendak ulang tahun.
“Maaf, Mas. Saya sibuk mengurusi rumah tangga saya di sini. Lagipula, dia baik-baik saja kan sama kamu?” jawab mantan istrinya. Ia selalu saja memberikan alasan yang sangat tidak masuk akal bagi Joko.            
“Sebentar saja, sempatkanlah waktumu! Bukan buat aku, tapi buat Tania,”            
Sambungan telepon itupun terputus. Selalu saja seperti itu. Hal itu membuat Joko muak dan enggan berhubungan kembali dengan mantan istrinya.
            
Namun, tahun ini ceritanya berbeda. Joko mau tidak mau harus memenuhi keinginan Tania karena ia tidak ingin Tania bersedih. Tania sudah cukup besar dan ia perlu bertemu dengan perempuan yang telah melahirkannya.
            
Joko memecahkan celengannya. Uang yang sudah ia tabung selama beberapa tahun ini sepertinya lumayan cukup untuk mengajak Tania menemui ibunya yang tinggal di luar kota. Jarak antar kota mereka lumayan jauh sehingga Joko perlu biaya yang cukup besar untuk perjalanan.

***
Berbekal alamat yang sudah diberikan oleh mantan istrinya, Joko dan putrinya berangkat dengan menaiki bus patas antar kota. Ia juga tidak tampil neko-neko. Hanya kemeja tua yang selalu dia pakai ketika momen-momen penting, seperti hajatan tetangga atau acara pembagian orang tua. Kemeja itupun merupakan pemberian dari bosnya.
            
Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih satu hari. Sesampainya di terminal, ia menyewa ojek yang mangkal di dekat sana. Ia menyodorkan secarik kertas yang berisi alamat rumah mantan istrinya.
            
Joko bersama putrinya akhirnya tiba di sebuah rumah yang tak terlalu besar, tetapi rumah itu jauh lebih bagus dibanding rumah yang ditinggalinya saat ini. Dengan ragu, Joko mengetuk pintu rumah tersebut. Ia tidak siap bertemu dengan perempuan yang pernah melukai hatinya dan tega meninggalkan anaknya.
            
Pintu pun terbuka. Perempuan itu pun muncul dari dalam dan pandangannya langsung tertuju pada seorang gadis mungil yang matanya sangat persis dengan matanya.
            
“Kamu gimana kabarnya, Sayang?” ujar perempuan itu antusias ketika pertama kali bertemu dengan putrinya setelah sekian lama.
            
“Kamu ibuku?” ujar gadis kecil itu polos. Perempuan itu mengangguk lalu memeluk hangat tubuh putrinya.
            
“Aku kangen sekali sama Ibu,”
“Ibu juga kangen dengan kamu, Sayang,”
“Ibu kenapa tidak tinggal bersama Ayah?” tanya putrinya polos.
“Maaf, Sayang. Ibu harus bekerja di sini dan merawat orang tua ibu di sini,” jawab perempuan itu. Tentu, itu hanyalah kebohongan.
            
Joko hanya terdiam melihat putrinya yang tengah bahagia.

Sayang, kebahagiaan putrinya itu tidak berlangsung lama. Mereka berdua harus kembali pulang ke kota mereka.

Berbeda dengan putrinya yang bahagia karena telah bertemu dengan ibunya, raut wajah Joko terlihat murung di sepanjang perjalanan. Sebelumnya, terjadi percakapan singkat antara Joko dan mantan istrinya. Perempuan itu memberitahukan alasan mengapa ia tidak bisa menemui Tania. Suami barunya melarang perempuan itu menemui Joko dan putrinya. Namun, perempuan itu akan berusaha untuk menemui Tania di ulang tahunnya ke depan.
            
Tak hanya itu, tiba-tiba air mata Joko menetes. Teringat masa-masa dulu, ketika orang tua istrinya memaksa Joko untuk menceraikan perempuan yang dicintainya dengan dalih bahwa istrinya tidak akan pernah bahagia jika hidup bersama dengan Joko yang hidupnya jauh dari kata pas-pasan.
            
Melihat ayahnya menangis, Tania spontan bertanya.

“Ayah kenapa?” gadis kecil itu bertanya dengan polosnya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Ayah hanya terharu saja melihat kamu bisa bertemu dengan ibumu,” ujar Joko sembari mengumbar senyum getir.

Pria paruh baya kemudian memeluk putrinya dengan hangat dan berjanji dengan dirinya sendiri untuk selalu membahagiakan Tania, semampu dan sebisanya.
  
Malang, 06 Oktober 2019

0 Response to "[Cerpen] Pulanglah! Putrimu Menunggumu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel