[Cerpen] Mentari yang Abadi di Tuscany
source pic: akurat.co
Ini adalah awal bulan Juli. Negara-negara di belahan Eropa tengah
memasuki musim panas, khususnya Italia. Seorang pria tengah berdiri menatap
hamparan bunga matahari yang tampak cantik dan terbentang luas di sepanjang
pandangannya. Setiap tahun, pria itu selalu datang ke tempat yang paling cantik
di Tuscany, sebuah taman bunga
matahari yang menawarkan surga kebahagiaan baginya.
Tuscany memang selalu
menawarkan jutaan pesona dengan daya magis yang fantastis. Ketika ia pertama
kali datang ke tempat ini, dia dimanjakan oleh bangunan-bangunan dengan gaya
khas arsitektur era renaisans. Desain antik Filippo
Brunelleschi pada arsitektur tersebut seolah menggugah jiwa seniman yang
ada di dalam pria tersebut.
Ya, pria itu merupakan seorang arsitek dan penulis
ternama dari benua tetangga. Banyak yang sudah mengakui kejeniusan dia sebagai seorang
arsitek. Tak hanya itu, dia juga sudah menerbitkan berbagai macam buku-buku
tentang teori arsitektur yang menjadi rujukan wajib di universitas tempatnya
berada. Ia juga senang menulis diary
serta puisi-puisi cinta seperti Khalil Gibran, meskipun dahulu banyak yang
menganggapnya kurang berbakat pada bidang itu.
Semua orang menganggap kehidupan pria itu sangat
ideal. Ketenaran, harta, status sosial, tak ada yang tak bisa digapai oleh pria
itu. Sayangnya, orang-orang tidak pernah tahu cerita-cerita kegagalan dia.
Mereka hanya menatap sekilas tanpa mau mengenal lebih dekat kisah hidup pria
itu.
Pria itu sejatinya telah tenggelam dalam sebuah
kegelapan yang tak dapat diterangi oleh apapun kecuali satu hal. Sesuatu yang kini
menjadi kekosongan di hatinya, yang telah memadamkan semua cahaya dalam
hidupnya. Dia telah kehilangan matahari. Semua hari yang dia lalui terasa seperti
gulita malam tanpa ujung. Seolah-olah, dia hanya tinggal menunggu mati tanpa
pernah berkesempatan melihat matahari sekali lagi.
Namun, semua terasa berbeda ketika ia pergi ke Tuscany. Hanya di tempat inilah, dia
dapat menemukan matahari yang tak pernah mati. Matahari yang selalu abadi,
meski itu hanya setahun sekali.
****
Dulu, matahari pria itu sempat menyala terang sebelum
akhirnya meredup lalu mati. Dia kehilangan matahari itu pasca berkali-kali
patah hati hingga membuatnya menjadi skeptis dan memilih menenggelamkan dirinya
ke dalam kegelapan malam. Tak ada lagi perempuan yang sanggup memberinya
matahari yang dulu pernah dia rasakan pijar hangatnya.
Hal itulah yang membuat dia menjadi makhluk liar yang
setengah gila dalam mengejar obsesi. Dia bekerja keras seperti robot tanpa
kenal lelah hingga kegilaan itu berhasil membuatnya menjadi arsitek terbaik di
negaranya. Ketenaran itu membuat perempuan-perempuan yang pernah menyakitinya
kembali dan mengumbar gelagat manis tanpa dosa. Sayangnya, ia tahu pijar yang
ditawarkan itu palsu, ibarat lilin yang pendarnya tak bisa setiap waktu.
Hingga suatu ketika – tepatnya tiga tahun yang lalu,
dia bertemu dengan seorang pengemis tua di pinggir jalan. Waktu itu, dia baru
menyelesaikan proyek besar yang menjadi titik penting bagi kariernya. Pria itu
yang awalnya tak acuh, mendadak iba ketika melihat kondisi pengemis yang
penampilannya yang renta dan tak terurus – rambutnya panjang beruban serta
berewokan.
Pria itu memberikan beberapa keping koin kepada pengemis
itu.
Spontan, pengemis itu berkata, “Hai, Tuan yang
dermawan. Aku tahu kau tengah sengsara. Pergilah ke Tuscany pada musim panas dan kau akan menemukan kebahagiaan yang
selama ini kau cari di sana.”
Rupanya, pengemis itu bukan sekadar peminta-minta. Kemungkinan,
ia juga gila, pikir pria itu.
Pria itu pun segera berlalu meninggalkan pengemis itu
tanpa menggubris petuah konyolnya. Namun, langkah pria itu terhenti ketika ia
melihat sebuah lembaran koran sobek yang di dalamnya terdapat sebuah gambar
arsitektur yang memperlihatkan gaya gotik abad renaisans. Jika diingat-ingat,
bangunan itu sepertinya ada di negara Italia, tepatnya di Tuscany.
Pria itu pun heran setangah mati. Dengan cepat, ia pun
segera kembali ke tempat pengemis itu. Nihil. Pengemis itu menghilang dan tak
tahu rimbanya. Mendadak, ia menjadi gusar. Apa mungkin yang dikatakan pengemis
itu merupakan sebuah petunjuk atas apa yang dia cari selama ini? Ah, tapi
mungkin juga pengemis itu memang gila.
Tiba-tiba, seorang gadis kecil menabraknya. Pria itu
segera membantu gadis kecil itu berdiri serta membantu merapikan sebuket bunga
matahari yang tadi terjatuh ketika mereka bertabrakan tadi.
Hari itu adalah hari paling ganjil dalam hidupnya. Firasatnya
berkata bahwa semua ini bukanlah kebetulan. Dia seharian merenung di dalam
kamarnya yang berantakan Paling tidak,
ada tiga kunci yang menjadi petunjuknya saat itu. Tuscany, musim panas, dan mungkin bunga matahari yang akan menjadi
petunjuk atas kebahagiaan yang selama ini dia cari.
***
Musim panas itu pun akhirnya tiba. Tanpa banyak perencanaan,
pria itu memutuskan pergi ke Tuscany
sembari membawa beberapa barang penting, seperti sketchbook, pensil gambar, sekaligus buku harian tempat ia
menuangkan keresahan hatinya.
Daerah itu memang indah. Dia berkeliling ke berbagai
kota yang ada di Tuscany dan mencari
tempat yang sesuai dengan ramalan pengemis tua waktu itu. Sama seperti
sebelumnya, dia masih saja belum menemukan matahari yang selama ini dia cari.
Namun, pria itu tidak menyerah begitu saja. Usai
menempuh perjalanan melelahkan selama beberapa hari di sana, ia akhirnya sampai
di sebuah tempat yang mungkin dimaksud pengemis tua itu. Dia sampai di sebuah
wilayah yang cukup jauh dari pusat kota. Nuansanya masih sangat sejuk dan
dipenuhi oleh pemandangan alam yang menakjubkan, khususnya ribuan bunga
matahari yang menawarkan sejuta kehangatan di sana.
Di tempat itu, banyak para wisatawan yang sengaja
berkunjung pada musim panas hanya untuk menikmati indahnya bunga matahari. Pria
itu pun mencoba membaur dengan para turis sembari mencatat hal-hal penting di
buku hariannya.
Spontan, ada seorang perempuan yang mendekat ke
arahnya. Pria itu sangat heran. Dari pertama kali mereka bertatapan, perempuan
itu sekilas mirip gadis kecil yang menabraknya saat itu. Bedanya, perempuan itu
memiliki mata berwarna hazel yang
sangat cantik dan juga rambut pirang bergelombang. Sepertinya, perempuan itu
blesteran antara orang Eropa dan orang Timur Tengah. Mereka pun berkenalan.
Perempuan itu merupakan seorang floris yang sangat terobsesi
dengan bunga, khususnya bunga matahari. Senyumnya sederhana dan caranya
berbicara sangat ramah, apalagi ketika perempuan itu bercerita banyak hal
tentang semua jenis bunga di dunia ini.
Lambat laun, pria itu merasa ada yang aneh.
Sepertinya, perempuan itu sama gila dengan dirinya. Hanya saja, pria itu
tergila-gila dengan dunia arsitektur, sedangkan perempuan itu tergila-gila
dengan bunga.
Seperti sebuah sihir ajaib, pria itu pun kembali
menemukan sesuatu yang hilang dari hidupnya. Ya, matahari yang selama ini dia
tunggu akhirnya sudah terbit. Malam panjang pria itu telah berakhir dan dia
sampai pada sebuah pagi yang sejuk nan menentramkan.
Mereka pun melalui satu hari panjang. Berjalan-jalan
ke kota bersama. Menikmati anggur Italia yang beraroma khas dan agak asam
dengan semburat rasa pahit di lidah usai diminum. Sambil, berbincang-bincang
tentang banyak hal.
Namun, mereka harus berpisah pada hari itu.
Ketika pria itu hendak meminta kontak yang bisa
dihubungi, perempuan itu anehnya malah menolak. Dia malah memberikan sebuah
kalimat yang terkesan ambigu kepada pria itu, “Kalau kau memang takdirku,
kembalilah ke tempat ini tahun depan. Aku akan menunggumu,” Kalimat perempuan
itu terekam jelas di ingatan pria itu. Paling tidak, ada harapan yang tersimpan
untuk dapat menemui perempuan itu lagi.
Sayangnya, kesempatan itu tidak terulang kembali. Pria
itu kecewa karena di tahun berikutnya, dia tidak dapat menemukan perempuan itu
seolah semua yang pernah terjadi di antara mereka adalah imajinasinya semata.
***
Matahari yang sempat terbit itu perlahan kembali
tenggelam. Pria itu hampir terjebak dalam keputusasaan yang teramat dalam. Ia
masih berharap dapat bertemu dan berbincang dengan perempuan itu sekali lagi.
Kegelisahannya mengantarkan dia pada impian lamanya,
yaitu menerbitkan puisi-puisi yang selama ini dia tulis. Dia ingin semua orang
tahu kesedihan yang dia pendam selama ini. Dia juga menulis sebuah novel yang
berkisah tentang pria yang ditelan kegelapan dan juga seorang putri yang tengah
menyelamatkan hidupnya dari kematian. Novel itu penuh tragedi dan ditulis
dengan penuh metafora yang terinspirasi dari perempuan bermata hazel yang dia temui di Tuscany waktu itu.
Tanpa dia duga, novel itu laris di pasar. Tentu, hal
ini juga didongkrak oleh ketenaran yang dia raih sebelumnya. Beragam
penghargaan baru pun dia dapatkan pasca novel itu diminati banyak kalangan dan
sudah disadur dalam berbagai terjemahan di berbagai negara.
Selang beberapa bulan pasca novel itu dikenal luas,
ada sebuah surat misterius yang diterima oleh pria itu. Surat itu dikirim tanpa
identitas yang jelas, tetapi surat itulah yang menjawab segala potongan
teka-teki yang ditinggalkan perempuan bermata hazel pada saat perpisahan mereka berdua.
Surat itu terdiri dari dua lembar kertas yang ditulis
dengan sangat rapi. Lembar pertama berisi berita menyakitkan yang mengabarkan
bahwa perempuan bermata hazel itu
sudah meninggal dunia karena dia menderita penyakit mematikan sejak lama. Surat
itu ditulis oleh salah satu kerabatnya.
Sementara itu, lembar kedua surat itu merupakan
tulisan asli perempuan bermata hazel yang
berisi pesan sekaligus pengakuan. Dulu, dia pergi ke Tuscany juga bukan tanpa alasan. Perempuan itu percaya dengan
ramalan seorang pengemis tua yang tiba-tiba datang ke toko bunga miliknya. Kata
pengemis tua itu, dia akan bertemu dengan seorang pria yang merupakan cinta
sejati yang selama ini dia cari-cari. Pria itu memiliki mata sayu dan gelap
seperti malam. Katanya lagi, pria itu senang membawa buku dan pena.
Perempuan itu merasa bahagia karena dia merasa ramalan
pengemis itu benar, meskipun waktu yang tersisa untuknya tidak lama lagi. Dia
sangat yakin bahwa pria itu adalah cinta sejatinya di dunia ini.
Di akhir surat itu, perempuan itu menulis sebuah pesan
kepada pria itu.
Sesuai pepatah, cinta sejati
tak akan pernah mati. Aku tak pernah pergi. Di taman bunga matahari di Tuscany.
Kau akan selalu menemukanku di sana.
Sempurna. Tangis pria itu pecah ketika selesai membaca
surat itu.
***
Setiap tahun - sama seperti musim panas tahun ini pada
awal bulan Juli, pria itu selalu datang ke taman bunga matahari di Tuscany.
“Kau benar, aku selalu bisa menemukanmu di sini. Kau
tidak pernah mati. Ti amerò per sempre,”
kata pria itu sembari memeluk perempuan yang selama ini dia rindukan. Perempuan
itu masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. Mata hazel itu masih sangat cantik dan
pelukan hangat itu seperti memberikan dia kehangatan mentari yang abadi.
Sementara itu, turis-turis lain yang ada di taman itu
terheran-heran.
Bagaimana tidak? Mereka melihat seorang pria aneh yang
berbicara sendiri dengan bunga matahari serta memeluk tangkai bunga tersebut
seperti orang gila. Puncaknya, pria itu mencium bunga matahari tersebut agak
lama sebelum meninggalkan taman tersebut.
“Sei pazzo,” celetuk salah seorang turis
ketika pria itu melintas di dekatnya.
0 Response to "[Cerpen] Mentari yang Abadi di Tuscany"
Post a Comment