[Cerpen] Perempuan dengan Tato Kupu-Kupu Hitam
Kedai kopi ini cukup ramai pada jam makan siang. Para pekerja
kantoran yang bekerja di dekat sini terlihat mulai memenuhi kursi yang beberapa
menit lalu lengang tak terisi. Tampak pula seorang pria paruh baya berkacamata
tengah duduk sendirian di sudut ruangan sembari membaca koran. Di depannya,
tersaji segelas kopi hitam Robusta yang masih panas.
Sementara itu, seorang perempuan dengan tubuh ramping dan dada yang cukup sintal terlihat memasuki kedai kopi itu pelan. Usia perempuan itu juga masih muda. Barangkali, sekitar kepala dua puluh mendekati tiga puluh. Hal itu tampak jelas dari raut wajahnya yang masih segar laiknya wanita dewasa yang matang.
Dilihat dari penampilannya, perempuan itu bekerja sebagai salah
satu sales merk rokok ternama. Ia menjajakan produk yang dia promosikan kepada
para pengunjung yang tengah sibuk menghabiskan waktu jam istirahat dengan
berbincang-bincang bersama kolega mereka.
Kebanyakan dari pengunjung itu bukanlah seorang perokok, sehingga mereka tak terlalu menghiraukan kehadiran perempuan itu. Langkah
perempuan itu terus berpindah dari meja ke meja hingga ia sampai ke meja pria
paruh baya tersebut.
“Rokoknya, Pak?” ujarnya.
Pria paruh baya itu meletakkan korannya
sejenak lalu menoleh ke arah perempuan tersebut.
Keduanya saling bertatapan sejenak. Gejolak seketika berkecamuk
menyeruak ke dalam dada mereka. Gurat wajah mereka terlihat ragu. Ingatan
mereka kembali ke masa lalu ketika segala hal masih begitu ambigu. Tepatnya,
ketika mereka masih sering bertemu.
Baca juga: [Cerpen] Mentari yang Abadi di Tuscany
***
Kamar itu terlihat remang. Hanya disinari sebuah bohlam yang
berpendar agak redup. Dua pasang badan saling berbagi kehangatan di atas
ranjang. Mereka saling memuaskan berahi yang sudah lama bergejolak dan menjajal
beragam variasi gaya seksual untuk mencapai puncak kenikmatan hasrat duniawi.
Permainan yang diselimuti oleh dosa itu selalu berakhir tak lebih
dari satu jam. Kemudian, mereka berdua duduk berdua dan saling bertatapan di
atas ranjang. Tubuh mereka setengah terbuka. Hanya selimut tebal yang menutupi
bagian intim mereka.
Seperti biasa, perempuan itu meraih segelas bir di atas nakas yang
berada di samping tempat tidur sebagai teman berbincang. Diteguknya bir
tersebut dengan pelan, sedangkan pria paruh baya di sampingnya menghisap
rokoknya dengan pelan. Dia tidak suka bir, lebih senang kopi hangat yang
sayangnya tidak ada malam itu.
“Kau tidak ingin keluar dari pekerjaan ini? Kau bisa mencari
pekerjaan yang lebih baik di luar sana?”
“Aku belum kepikiran. Lagipula, mana ada pekerjaan yang layak bagi
wanita jalang sepertiku? Kau ini hanya menghayal saja,” jawabnya lugu.
Pria paruh baya itu merupakan pelanggan setia perempuan tersebut.
Salah satu koleganya yang mengenalkan mereka berdua beberapa bulan yang lalu. Katanya, perempuan itu
cocok jika dijadikan teman selama ia berkunjung di kota itu, sementara ia jauh dari istri dan anak-anaknya.
Melihat kecantikan perempuan itu, pria paruh baya itu tergoda. Ia
pun mendadak lupa bahwa dia sudah berkeluarga. Akhirnya, hubungan terlarang
mereka pun terjalin.
Setiap kali pria paruh baya itu berkunjung ke kota itu, dia selalu
menyempatkan diri menemui perempuan dan menyewa kamar untuk satu malam. Mereka
menikmati malam dengan desahan panjang yang terlaknat kemudian terhanyut dalam
obrolan ringan sebelum berpisah.
“Apa keluargamu tidak tahu jika kamu di sini menyewa seorang
pelacur?”
Pria paruh baya itu menggeleng. Ia masih asik menghisap rokoknya
lebih dalam dan menghembuskannya pelan. Lalu, perempuan itu beranjak dari
posisinya dan mengambil kemeja yang tadi tergeletak manis di atas lantai.
Dibiarkannya pelukan itu terlepas dan ditatapnya tato kupu-kupu
berwarna hitam yang terlihat manis di belakang leher perempuan tersebut, yang tampak samar di balik helaian rambut hitam kemilau perempuan tersebut.
“Aku pergi dulu,” katanya usai mengenakan pakaiannya.
“Sebentar,” ujar pria paruh baya itu. Kedua tangannya sibuk
merogoh sesuatu dari dalam saku celananya.
“Tidak usah. Anggap malam ini adalah hadiah spesial dariku,”
jawabnya yang menolak pemberian dari pria paruh baya itu. Lagipula, perempuan
itu merasa puas karena bisa menjalin asmara dengan pria yang menurutnya mampu
memberikan ketentraman yang berbeda.
Tak bisa dinafikkan, pria paruh baya itu merasakan hal yang sama.
Di jantungnya, perempuan itu seperti denyut yang berdetak tiap detiknya.
Sentuhan lembut perempuan itu ketika menyentuh setiap titik di tubuhnya seolah
merayap dan meracuni seluruh aliran darahnya hingga membuatnya kecanduan.
Ya, mereka berdua jatuh cinta. Sebuah cinta yang bisa dikatakan
benar dan salah atau lebih tepatnya cinta yang sangat gila. Namun, yang namanya
cinta tetaplah cinta. Mau itu benar atau salah, tak ada yang peduli.
Sayangnya, malam itu adalah pertemuan mereka yang terakhir. Mereka
tidak pernah bertemu lagi setelah malam itu. Anehnya, perempuan itu menghilang tanpa jejak.
Baca juga: [Cerpen] Segelas Robusta dan Cinta Lama di Jogja
***
Pria paruh baya itu tersadar dari lamunan tentang masa lalunya.
“Duduklah sebentar!” kata pria paruh baya itu tanpa mengalihkan pandangannya dari perempuan itu.
Kerinduan yang lama terkurung di dalam dadanya membuncah. Terus terang, dia begitu bahagia karena bisa melihat lagi keanggunan, kecantikan, dan senyuman tak terdefinisikan dari perempuan yang dulu sangat dicintainya itu.
“Maaf, aku tak punya banyak waktu karena aku harus bekerja,”
perempuan itu berkilah dan sedikit membuang muka.
“Tenang saja, aku akan membeli semua stock rokok yang kau jual
hari ini,”
Kegusaran yang tadi tampak pada gurat wajah perempuan itu perlahan menghilang. Ia masih sedikit membuang muka. Keraguan mungkin tengah menyelimutinnya dan ingatan kesalahan di masa lalu kembali menghantuinya.
Sementara perempuan itu sibuk menata tempat duduknya, pria paruh baya itu
memesan segelas cokelat dingin untuk perempuan itu.
“Aku hanya ingin tahu. Mengapa kamu tiba-tiba menghilang hari itu?
Tanpa ada kabar atau penjelasan. Aku sangat takut terjadi apa-apa denganmu,”
“Ehm… aku hanya ingin memulai kehidupan yang baru, seperti yang
kau lihat saat ini. Aku bukan lagi perempuan yang kau kenal dulu,” ujar perempuan
itu dengan nada gamang. Kedua matanya menatap pria baru bayah itu dengan dalam. Tatapan itu seolah berkelana kembali mengenang kisah terlarang mereka berdua di masa masa lalu.
“Jika aku masih terus berada di kota itu dan bertemu denganmu, aku
mungkin tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu masa kelamku. Aku teringat
akan kata-katamu malam itu, tetapi aku juga sadar bahwa tidak sepantasnya aku
menjadi parasit di keluargamu,” ucap perempuan itu meneruskan.
“Aku paham maksudmu. Aku juga mengakui kesalahanku. Maaf, mungkin
tidak sepatutnya aku menumbuhkan cinta yang tak seharusnya tumbuh di dalam
hatimu,”
Perempuan itu tersenyum seakan-akan ia tak menyesali cinta yang
pernah terjalin di antara mereka berdua. Tanpa sadar, salah satu rekan kerja perempuan
itu memanggilnya
“Maaf, aku harus pergi sekarang. Senang bisa bertemu lagi denganmu,”
“Semoga kau bahagia dengan kehidupan barumu,”
Perempuan itu pun beranjak pergi dan melangkah menuju ke pintu
kafe, sedangkan pria paruh baya itu tak henti-hentinya menatap punggung
perempuan itu yang semakin lama semakin menghilang dari balik pintu kafe.
Pria paruh baya itu menguarkan senyum bahagia. Tato kupu-kupu hitam di leher perempuan itu, kini berganti warna menjadi biru, seperti langit pagi hari yang sangat teduh menawarkan harapan baru.
0 Response to "[Cerpen] Perempuan dengan Tato Kupu-Kupu Hitam"
Post a Comment