[Cerpen] Cinta yang Selalu Hidup di Secangkir Kopi
Pintu kafe berderit pelan. Suara kaki terdengar melangkah pelan sembari
mengamati suasana kafe yang terlihat lengang. Dari tempat dudukku, aku melihat
seorang kakek tua berkacamata dengan kemeja batik dan nenek dengan kebaya
cokelat mengambil tempat duduk di meja dekat jendela. Meja itu adalah meja
favorit para pelanggan karena mereka bisa menatap hamparan danau beserta
pemandangan di sekitarnya yang memukau.
Otakku sedikit menerka-nerka, mungkin itu hanyalah kebetulan. Mereka
mungkin tidak sengaja memilih meja itu. Namun, ada yang sedikit janggal karena
meja itu hari ini tak ada yang menduduki seolah semesta dengan cara uniknya
telah memesan meja itu untuk mereka berdua. Biasanya meja itu tak pernah kosong,
malah selalu penuh hingga orang-orang rela datang lebih awal agar bisa
menempati meja itu.
Kafe ini memang sudah cukup tua. Dahulu, kafe ini hanyalah kedai kopi
biasa yang terletak di pinggir jalan dekat danau kecil di kota ini. Seiring
berjalannya waktu selaras dengan perkembangan gaya hidup anak muda, kafe ini
pun ikut bertransformasi dengan sedikit nuansa modern, tanpa menghilangkan gaya
bernuansa tua kafe ini yang telah kekal di ingatan pelanggan.
Mereka berdua mungkin dulu pernah mengunjungi tempat ini ketika masih
muda, jadi mereka tahu persis tentang seluk beluk kafe ini. Aku hanya bisa
berasumsi tanpa jawaban pasti. Lalu, akupun kembali berkutat dengan koran yang
sedari tadi belum selesai kubaca sambil sesekali mengamati sepasang lansia yang
tampak serasi itu. Aku yakin, setiap muda-mudi pasti sangat iri dengan sepasang
lansia yang begitu mesra di usianya yang telah senja.
Tak lama, kakek itu memanggil pelayan. Kudengar, ia memesan dua cangkir
kopi tubruk. Ketika pelayan bertanya biji apa yang ingin dipakai untuk kopi
mereka, kakek itu menggaruk-garuk kepala dan sedikit mengerutkan wajah. Ia
bertanya balik kepada pelayan lalu mempertimbangkan rekomendasi dari pelayan
kafe.
Bali Kintamani, persis kata
kakek itu saat menyebutkan biji kopi pilihannya.
“Ah, mungkin karena kita sudah tua, kita tak lagi tahu perkembangan kopi
saat ini. Dulu, aku tak pernah memesan kopi yang muluk-muluk. Yang penting kopi
hitam. Sudah cukup,” celetuk kakek itu dengan tawa renyah.
“Aku jadi ingat masa muda dulu ketika kita menghabiskan waktu-waktu
untuk minum kopi bersama, seperti hari ini. Aku tak akan pernah lupa dengan
momen menyenangkan itu,”
Dengan samar tapi masih mampu kudengar, aku menyimak perbincangan ringan
mereka berdua karena meja kami kebetulan berdekatan. Persis seperti dugaanku,
mereka memang pelanggan lama kafe ini.
Sembari menyeruput kopi tubruk yang baru diantarkan pelayan, sepasang
lansia itu meneruskan obrolan mereka. Dulu, mereka memang bertemu di kota ini
dalam sebuah ketidaksengajaan pada saat mereka masih kuliah di kota ini. Bagi
mereka, kota ini adalah kota kenangan yang tak pernah lekang di ingatan.
Aku tahu, menguping pembicaraan adalah perbuatan yang sama sekali tidak
beretika. Namun, pembicaraan itu sangat sayang untuk kulewatkan karena aku masih
penasaran dengan cerita mereka berdua.
“Mengapa kau memesan biji kopi Bali Kintamani?” kali ini nenek itu yang
kembali bertanya.
“Jujur, aku tidak paham tentang biji kopi. Jadi, aku memilih biji kopi
yang sesuai dengan intuisiku. Kau sendiri pasti mengerti maksudku,” jawabnya
terkekeh.
“Kalau aku ingat-ingat lagi, Bali memang menyimpan banyak kenangan kita
berdua,”
Dengan bergelora, sepasang lansia itu kembali bercerita banyak hal
tentang masa lalu mereka. Mereka mengingat masa-masa berlibur bersama di pulau
Bali ketika mereka menikmati ombak di pantai Kuta yang dulu terlihat sejuk
menyegarkan mata dan merdu menelisik telinga.
Mereka juga mengingat kembali momen ketika mereka bermalam bersama di
kala mereka saling berbagi kehangatan hingga pagi buta membangunkan mereka yang
terlelap dan terlena oleh jiwa yang dipenuhi hasrat juga cinta.
Ah, di sela-sela perbincangan yang menarik itu, aku tiba-tiba mendadak
ingin buang air kecil. Aku tak bisa menahannya lama-lama karena itu sudah sampai di pucuk. Aku terpaksa
meninggalkan tempat dudukku untuk beberapa menit, walaupun aku tahu bahwa
menit-menit itu adalah menit krusial yang aku lewatkan karena itu artinya aku
telah ketinggalan kereta yang mengantar cerita-cerita mereka. Ada beberapa part yang luput dariku.
“Kau sangat cantik di pesta pernikahan itu. Aku takkan pernah lupa
dengan senyumanmu saat kau menikah,” ujar kakek tua itu dengan tatapan yang
sangat dalam, seperti memandang mangga yang tengah ranum-ranumnya dan terlihat
menggiurkan untuk dipetik lalu digigit dengan penuh cinta.
Jika kupikir ulang, kecantikan seorang wanita masihlah tertinggal pada
gurat wajah nenek yang sudah renta itu. Otakku mulai liar dan berkelana ke
mana-mana ketika membayangkan wajah nenek itu ketika masih muda. Mungkin, nenek
itu dulu adalah primadona di kota ini. Kecantikan pacarku pasti lewat jika
dibandingkan dengan kecantikan nenek itu.
“Kau juga sangat tampan di hari pernikahan. Aku jadi berpikir, orang
yang menjadi pasangan hidupmu pastilah orang yang paling bahagia di dunia saat
ini,” balas nenek itu dengan senyum simpul sederhana. Kemudian, mereka saling
tertawa menertawakan suatu perihal yang aku sendiri heran.
Yang jelas, aku mendadak turut bahagia ketika mereka bercerita tentang
hari pernikahan mereka. Mungkin, di hari pernikahan itu ada momen lucu yang
membuat mereka tertawa, seperti ada anak kecil yang ngompol saat foto bersama
di atas panggung pengantin atau ada mantan si kakek atau si nenek yang nyumbang
lagu “kandas” di resepsi mereka.
“Sudah pukul tiga sore. Kita harus kembali, kalau tidak, nanti kau
ketinggalan pesawat,” ujar si kakek sembari membetulkan kacamatanya, begitu
pula si nenek yang mulai mengemasi barang-barangnya.
Nenek itu beranjak dari tempat duduknya dan mengucapkan kata perpisahan
kepada si kakek sebelum pergi, sementara itu si kakek menuju ke arah kasir
untuk membayar dua gelas kopi yang tadi mereka pesan.
Sebelum itu, aku beranjak dari tempat dudukku dan menuju ke arah kasir.
Aku memberikan kode agar pelayan kafe ini untuk minggir terlebih dahulu.
“Untuk hari ini, saya ingin menggratiskan dua gelas kopi yang tadi Anda pesan,” ujarku selaku pemilik kafe ini. Aku merasa dua gelas kopi itu tidaklah sebanding dengan momen dan cerita dari kakek dan istrinya itu.
“Loh, nggak apa-apa. Saya memang mau bayar, kok, Dik. Tenang saja,”
balas kakek itu dengan agak kekeuh.
“Tidak apa-apa, Pak. Maaf, tadi saya mendengarkan cerita Anda yang
menurut saya menarik. Ngomong-ngomong, saya mau tanya, gimana resep agar
hubungan bisa awet hingga tua, seperti hubungan Anda dan istri Anda?” tanyaku
spontan dan plas-plos.
Mendadak, kakek itu kembali menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
sembari membetulkan kacamatanya lalu disusul dengan gelak tawa yang seketika
memecahkan keheningan kafe yang sedari tadi lengang.
Aku heran. Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku?
“Kamu ini salah paham, Dik. Nenek itu tadi bukan istriku. Ehm… dia
adalah mantan kekasihku di masa lalu. Aku hanyalah kakek tua yang dulu gagal
menikahinya,” ujar kakek itu disertai tawa renyah dengan sorot mata yang cukup
berbinar, seperti teringat masa lalunya yang mungkin pernah basah oleh air
mata.
Kakek itu pun menyodorkan uang lima puluh ribuan untuk dua gelas kopi
tadi yang menurutnya sangat berharga. Katanya, secangkir kopi tidak layak
dinilai oleh apapun karena di dalamnya terdapat momen-momen berharga yang hanya
bisa dimengerti oleh si peminum kopi. Begitulah kira-kira pemikiran kakek itu
tentang kopi.
“Ya sudah, saya mau balik dulu. Oh iya, titip salam, ya, buat bapakmu!”
kata kakek itu sebelum pergi meninggalkan kafe.
Aku masih terdiam dan mematung di depan meja kasir. Kedua mataku masih tidak henti-hentinya memikirkan semua kejanggalan di kafe hari ini, tentang sepasang lansia, kopi, dan kenangan lama di kafe ini. Namun, jika dipikir-pikir ulang, banyak orang yang berkata bahwa wajahku memang mirip bapakku, pendiri kafe tua ini.
Baca juga: Cerpen - Mentari yang Abadi di Tuscany
0 Response to "[Cerpen] Cinta yang Selalu Hidup di Secangkir Kopi"
Post a Comment