Tentang Pelangi pada Sepasang Mata yang Cantik


source: pixabay.com

Kali ini, saya ingin bercerita tentang seorang perempuan yang spesial bagi saya. Anggap saja namanya Mei. Dia merupakan teman kuliah saya dari jurusan lain. Kebetulan, kami bertemu dalam sebuah kesempatan. Waktu itu, saya dan dia tengah melaksanakan kegiatan praktik mengajar di salah satu SMA di kota kami.

Terus terang, saya tidak pernah menduga bahwa saya akan jatuh cinta dengan dia, apalagi saya tahu bahwa kami berdua menganut keyakinan yang berbeda. Pertama kali bertemu dia, saya rasa dia perempuan yang jutek dan judes. Saya pun juga sangat jarang berinteraksi dengan dia pada minggu-minggu pertama.

Namun, awal minggu ketiga semua terasa begitu berbeda. Entah sebuah kesengajaan atau tidak, saya kebetulan duduk persis di samping dia. Karena saya ini senang berbasa-basi dengan orang lain yang belum saya kenal, maka saya pun mencoba berbincang ringan dengan dia. Dari basa-basi ringan, lambat laun pembicaraan kami mulai melebar kemana-mana. Perbincangan itu membuat saya sadar bahwa persepsi saya tentang Mei salah. Dia orangnya humble dan sangat nyambung ketika diajak ngobrol. Kalau boleh jujur, saya jarang sekali bertemu dengan perempuan se-humble dia.

Satu lagi yang membuat saya betah ngobrol dengan Mei adalah dia memiliki mata yang susah saya definisikan. Saya suka matanya. Mata itu cantik dan dalam ketika saya tatap. Mata itu seolah memaksa saya masuk ke dunia dia.

Berhubung saya suka bercanda dengan gombalan-gombalan basi, saya menggoda dia waktu itu.
“Matamu kenapa, Mei?” tanya saya serius. Dia heran. Mencoba meraba di sekitar pelipisnya dengan ekspresi heran.
“Kenapa emangnya?” tanya dia polos.
“Enggak ada apa-apa. Aku lihat ada pelangi di matamu,” jawab saya sambil tertawa sembari menunjuk kedua matanya. Tawanya pun pecah dan dia tidak menyangka sama sekali dengan candaan saya.

Namun, dari situ kisah saya dimulai.

Selain dari matanya, saya juga suka cara dia berbicara, khususnya cara dia membawa saya masuk ke dunia dia. Bagi saya, dia memiliki dunia sendiri yang mungkin unik dan absurd. Dia juga humoris dan selalu menawarkan keceriaan. Tetapi, di balik sisi ceria itu, ada satu kesedihan yang selama ini dia pendam. Dan saya baru mengetahui kesedihan itu di kemudian hari.

Perbincangan itu memang tak berlangsung lama, tapi bagi saya cukup bermakna. Entah mengapa, saya mulai merasa dekat dengan dia, padahal beberapa minggu yang lalu kami masih cukup berjarak sebagai sesama teman yang dipertemukan dalam suatu peristiwa. Kami juga mulai saling mengenal lebih dalam. Dia tahu saya suka menulis puisi atau cerita-cerita yang sering saya unggah di blog saya.

“Buatin aku puisi, Mog,” katanya waktu itu. Saya cuman ketawa dan berkilah bahwa membuat puisi itu tidak semudah yang dikira. Sampai saat ini pun, saya masih berhutang puisi kepada dia.

Saya awalnya menganggap perbincangan itu biasa. Namun, saya tidak bisa menafikkan bahwa saya merasakan nuansa yang berbeda. Mungkin, waktu itu saya mulai menyukai Mei.  Dan yang paling saya herankan juga adalah dia datang pada momen yang tepat.

Malamnya, saya terus kepikiran Mei. Ah, jatuh cinta memang absurd dan membuat saya suka senyum-senyum sendiri seperti orang yang kurang waras. Tapi, jatuh cinta dengan Mei adalah jatuh cinta paling selow yang pernah saya rasakan. Saya tahu, kecil kemungkinan jika saya bisa bersama dengan dia karena alasan kami sangat prinsipil.

Meski saya tahu kenyataan itu, saya tidak mau membunuh perasaan saya terlalu dini. Saya suka Mei dan saya ingin menikmati waktu bersama dengan dia selagi kami masih bisa bertemu.
***
Di lain waktu, saya seringkali duduk di dekat Mei. Ketika dia tidak ada ruangan, saya selalu bertanya kepada salah satu temannya hingga membuat temannya curiga bahwa saya ada sesuatu dengan Mei. Saya mungkin bisa mengelak dan berkilah, tetapi gerak-gerik saya terlalu jujur dan saya tidak pandai bersandiwara.

Pernah juga, saya terlibat dalam pembicaraan yang menurut saya cukup absurd dengan dia. Kami duduk berhadap-hadapan dan seperti biasa dia menguarkan candaan absurd yang membuat saya tak henti-hentinya ketawa. Yang paling membuat saya heran, saya selalu nyambung kalau ngomong sama dia. Selalu ada aja topik yang asik untuk diperbincangkan.

“Mog, kamu kok aneh ya?” tanyanya heran waktu itu.
“Aneh kenapa? Kamu lho juga aneh, Mei? Nggak ada cewek seaneh kamu di dunia ini,” balas saya balik. Kami berdua tertawa lagi.
“Aku aneh kenapa emangnya?”
“Kamu punya dunia sendiri yang menurutku gak banyak orang punya. Dan kamu mampu membawa orang lain masuk ke duniamu,”

Kemudian, tanpa sadar saya mulai bercerita tentang cerita rumit saya dengan seorang perempuan. Anggap saja namanya Rara, dia teman SMA saya yang kuliah di Jogja. Selama tiga tahun ini, saya merasa stuck dengan dia. Saya ragu hendak bertahan atau melepaskan. Kadang, saya merasa bahwa dia hanya mempermainkan perasaan saya saja. Sampai akhirnya, dia memberikan sebuah jawaban yang cukup menjadi alasan bagi saya untuk pergi. Dia ternyata masih mengharapkan seseorang yang merupakan teman sebangku saya sewaktu masih SMA. Saya tak terlalu sakit mengetahui hal itu karena sudah terlalu banyak kekecewaan yang saya alami selama berhubungan dengan Rara.

“Kasihan, Mog. Bagus kali kalau ceritamu dibuat film,” ujarnya pelan.

Saya hanya tertawa ketika mendengar respons dari Mei.

Ketika melihat Mei, saya jadi teringat sosok Kugy di novel “Perahu Kertas” karya Dee Lestari. Kugy memiliki karakter yang unik dan ceria, terutama tentang hobinya menulis dongeng dan mengirimkan surat kepada Neptunus melalui perahu kertas.

Saya pikir, Mei juga seperti Kugy. Kadangkala, ia juga terlihat kekanak-kanakan. Suka cemberut gak jelas, lalu kembali ceria lagi. Tapi, di balik sosoknya yang seperti itu, Mei orang yang pintar dan banyak sisi lain dari dirinya yang tidak ia tunjukkan ke orang lain.

****
Tiga puluh hari pun berlalu tanpa terasa.

Kegiatan praktik mengajar kami sudah selesai dan itu artinya saya akan kehilangan momen-momen kebersamaan dengan Mei. Karena saya takut hari itu adalah terakhir kalinya saya bisa bertemu dengan Mei, saya meminta foto dengan dia. Dan anjir-nya, dia malah menertawakan saya.

Saya tahu itu adalah hal konyol, tetapi paling tidak hanya itulah yang saya harapkan. Saya juga memberikan Mei sebuah gantungan kunci yang juga saya berikan ke murid-murid saya sebagai kenang-kenangan selama mengajar. Paling tidak, gantungan kunci itu bisa bertahan lama dan Mei semoga selalu teringat kepada saya ketika melihat gantungan kunci itu, bahwa ada pernah cowok absurd yang pernah menjadi temannya bercerita.

Jujur, hari itu saya merasa kosong. Saya merasa ada yang kurang dan mungkin bisa dikatakan saya juga sedih karena saya akan sangat jarang bertemu dengan Mei. Saya merasa ada kepingan hati saya yang hilang dibawa oleh Mei. Tanpa sadar, dia telah menjadi seseorang yang spesial di hati saya. Seseorang yang mampu memberikan saya inspirasi.

Saya mendadak merasa rindu dengan dia padahal saya bukan siapa-siapa dia haha. Jika ada satu lagu yang mampu memahami perasaan saya waktu itu adalah lagu Kahitna yang berjudul Soulmate. Saya terus menerus memutar lagu itu karena saya merasa bahwa si Mei sudah ibarat soulmate bagi saya, walaupun saya sekali lagi harus menerima kenyataan pahit bahwa saya tidak mungkin bisa bersama dengan dia.

Baca juga: Mei, Komik Juki, dan Film Joker

****
Di lain waktu, tepatnya mendekati tengah malam. Saya menelpon Mei. Ia belum tidur karena baru menghadiri sebuah acara di gereja.

Ada banyak kisah tentang saya yang belum saya ceritakan kepada Mei, tentang perempuan-perempuan yang membuat saya patah hati di masa lalu juga tentang mantan pertama saya. Saya sendiri juga heran, Mei waktu itu tertarik mendengarkan cerita-cerita saya. Padahal, saya waktu itu sedang ngantuk-ngantuknya. Tapi ketika mendengar suara Mei, kantuk saya mendadak sirna.

Malam itu, saya bicara panjang lebar. Saya menceritakan tentang sosok bernama Dinda (nama samaran) yang pernah membuat saya patah hati dan hampir nekat bunuh diri ketika saya masih SMA. Ceritanya waktu itu dia berjalan bersama dengan orang lain tepat di depan kedua mata saya. Hal itu yang membuat dunia saya hancur waktu itu dan itu adalah patah hati terhebat dalam hidup saya.

Lalu, saya kembali bercerita tentang mantan pertama saya yang sampai saat ini masih sering saya kenang, meskipun tak ada niat lagi untuk balikan. Tentang permasalahan yang menimpa kami berdua di masa lalu. Tentang kegoblokan saya dan keegoisan saya yang memberinya luka di masa lalu.

Dari jauh seberang, suara Mei kadang terdengar lirih seperti ikut prihatin dengan kisah kandas saya. Tak jarang juga dia malah ketawa keras.

Usai saya bercerita, ganti dia yang menceritakan pengalaman cintanya yang traumatis dengan sesosok pria bernama Dori (nama samaran). Saya tidak bisa cerita terlalu banyak karena ini menyangkut privasinya. Intinya, dia terjebak dalam sebuah hubungan yang rumit dengan Dori. Sementara itu, Dori memiliki hobi balapan dan juga memiliki sifat yang keras. Ia juga posesif dan suka mengekang Mei. Hal itu yang membuat Mei tidak betah dengan dia dan terpaksa mengakhiri hubungannya dengan Dori. Semenjak itulah, ia trauma dengan cowok dan tidak mau terbawa perasaan lagi.

Sepanjang Mei bercerita, kadang saya tidak berhenti ngakak karena ada banyak part konyol tentang Dori. Tetapi dari cerita Mei, saya jadi salut dengan dia. Di balik wajah dan senyumannya yang ceria terdapat kesedihan yang mungkin masih menghantuinya.

Di akhir pembicaraan itu, saya mencoba menguatkan diri untuk mengungkapkan hal yang selama ini masih saya pendam. Mei harus tahu, walau saya sendiri ragu bahwa dia sendiri sudah mengerti apa yang saya rasakan selama ini.

“Mei, jujur aku selama ini seneng sama kamu. Tapi ya kamu tahu sendiri kalau aku nggak mungkin sama kamu,” kata saya waktu itu dengan agak gagap.
“Iya, aku sudah ngerti, Mog. Aku hargai kejujuranmu,” balasnya.
“Aku sendiri heran, Mei. Nggak tahu kenapa kok aku bisa suka sama kamu, padahal pertama kali ketemu kamu, aku merasa kamu judes dan gak asik lah pokoknya haha,”

Dia hanya tertawa ketika saya bercanda seperti itu. Berhubung tak ada lagi yang bisa kami perbincangkan, saya menutup telepon tersebut. Tak terasa, kami sudah berbincang satu jam lamanya.

Malam itu saya merasa plong dan tak ada beban karena Mei sudah tahu apa yang selama ini saya rasakan. Kami juga saling mendoakan kebahagiaan kami masing-masing. Saya berdoa untuk dia agar dia segera bertemu dengan lelaki yang sesuai dengan harapannya.

Dan saya kira, itu adalah cerita terakhir saya dengan Mei. Namun dugaan saya keliru, cerita kami masih berlanjut. Walaupun itu hanyalah cerita-cerita sederhana, tetapi bagi saya cukup bermakna.

Nanti, akan saya ceritakan kembali di tulisan saya di lain waktu.

Malang, 20/10/2019
Previous Post Next Post

Contact Form